Recent Posts

settia

DARUL ISLAM ATAU MENGGAGAS IDEOLOGI ALTERNATIF ?


Oleh : Ahmad Suhelmi, MA
Sambungan Dari :
DARUL ISLAM : ANGAN-ANGAN KEKUASAAN POLITIK ISLAM

Kegetiran perjuangan DI menegakkan Negara Islam menimbulkan trauma historis dan ketegangan dalam hubungan Islam-negara Orde Baru selama beberapa dekade. Islam kemudian seakan identik dengan kekerasan politik (political violence) dan pem-berontakan. Umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini mengidap apa yang dinamakan Wertheim kompleks minoritas (minority complex). Keadaan ini maerugikan umat Islam secara keseluruhan. Inilah salah satu alasan strategis kemunculan pemikiran yang menolak konsep Negara Islam dan menyebut fenomena DI ‘kekeliruan sejarah’ Islam di masa lampau.
Gagasan penolakan Negara Islam terutama muncul di kalangan cendekiawan terkemuka seperti Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid. Mereka sependapat dengan Moehammad Roem bahwa Islam tidak memiliki bentuk negara. Nurcholish menilai Negara Islam sebagai apologia dan reaksi atas gelombang ideologi sekuler barat (Sosialisme, Komunisme, Nasionalisme) di dunia Islam. Tiada suksesi kepe-mimpinan negara paska kewafatan Rasul Muhammad SAW menurut Nurcholish merupa-kan bukti kuat bahwa Islam tidak secara spesifik menentukan negara yang harus dibangun. Amien Rais menilai Negara Islam tidak ada, karena tidak ada satupun ayat dalam Al-Qur`an yang menyebut istilah Negara Islam. Abdurrahman Wahid menolak Negara Islam, karena konsep itu mengancam eksistensi demokrasi, plurarisme, ekslusif-sektarian dan bahaya bagi integrasi bangsa Indonesia. Memaksakan Islam menjadi dasar negara berbahaya karena Islam dalam konteks ke-Indonesiaan menurut Abdurrahman hanyalah sub-kultur dan ‘komplementer’ bagi nasion Indonesia yang memiliki prinsip ‘bhineka tunggal ika.’ Menegakkan Negara Islam samalah artinya memporak-poran-dakan negara kesatuan RI.

Konsep Negara Islam dalam perspektif mereka memposisikan umat Islam menjadi kelompok pinggiran, oposisional dan selalu bersitegang dengan pemerintah (Orde Baru). Kondisi ini merugikan kepentingan umat Islam. Oleh karena itu, menurut Abdurrahman, konsep Negara Islam harus ditolak dan Islam dituntut akomodatif terhadap Pancasila. Bukan sebaliknya, Pancasila akomodatif terhadap Islam. Terlepas kita setuju atau tidak dengan logika itu, kecenderungan menolak konsep Negara Islam mendominasi wacana politik Islam Orde Baru. Dalam tingkat tertentu akomodasi Islam ke dalam struktur politik Orde Baru berhasil mencairkan ketegangan hubungan antara keduanya. Interaksi Islam-negara Orde Baru semakin membaik memasuki dekade 1990-an. Inilah fase ‘bulan madu’ hubungan Islam-negara Orde Baru.

Saat ini ketika sistem politik Orde Baru mulai rontok dengan lengsernya mantan Presiden Soeharto (21 Mei 1998), masihkah relevan penolakan Negara Islam, atau negara berdasarkan Islam itu? Masihkah kita harus terus menerus menyalahkan Karto-soewirjo dan DI-nya? Masihkah kita tetap bersikeras bahwa ideologi Pancasila yang tertutup (versi Orde Baru) dan UUD 1945 itu harus dipertahankan mati-matian sementara gugatan terhadap relevansinya dengan perkembangan zaman semakin dipertanyakan dari hari ke hari?

Kekalkah Pancasila sebagai ideologi negara? Sampai kapan ia mampu bertahan? Sampai dunia kiamat? Para pembela Pancasila percaya bahwa nilai-nilai universal Pancasila membuat ideologi ini bertahan menghadapi gempuran zaman. Pancasila abadi, ‘tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan.’ Tapi beberapa pengamat menilai ke-cenderungan-kecenderungan politik akhir-akhir ini serta proses globalisasi yang melanda Indonesia menimbulkan pertanyaan serius tentang daya tahan (resistensi) Pancasila sebagai ideologi negara. Pengamat politik seperti Arbi Sanit menilai Pancasila tidak akan mampu bertahan menghadapi gempuran zaman. Cepat atau lambat Pancasila akan menjadi peninggalan sejarah. Tanda-tanda zaman ke arah itu menurut Arbi Sanit telah nampak saat ini. Jadi sebenarnya Pancasila tidaklah ‘sakti’ seperti yang disakralkan dan dimitoskan Orde Baru selama tiga dekade. Ideologi-ideologi yang mampu bertahan menghadapi gempuran zaman menurut Arbi adalah ‘ideologi-ideologi klasik’ seperti Islam, Kristen, Sosialisme dan Liberalisme.

Demikian juga dengan UUD 1945. Dr. Mochtar Pabottingi dan Syamsu Rizal Pangabean berpendapat bahwa UUD 1945 dirumuskan dalam situasi darurat. Karena itu UUD 1945 tidak bisa dianggap UUD yang telah final. Oleh karena itu ia perlu direvisi atau diubah apabila UUD itu ingin tetap relevan dengan perkembangan zaman. Buyung Nasution bahkan berpendapat pasal-pasal tertentu UUD 1945 memposisikan seorang presiden RI menjadi penguasa otoriter, bahkan diktator. Pandangan ini disetujui pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.

Kini bangsa kita sedang membangun Indonesia baru yang demokratis. Dalam konteks perkembangan itulah berbagai usaha menawarkan wacana ideologi alternatif harus ditolerir --sejauh tidak menggunakan cara-cara repressif dan anti demokratis. Sebagai ideologi, Pancasila semestinya akomodatif terhadap tawaran-tawaran ideologis dari mana pun datangnya. Tidak menutup diri dan merasa benar sendiri seperti di zaman Orde Baru. Ini bila Pancasila ingin tetap bertahan menghadapi gempuran zaman. Di sinilah letak tugas penting sejarah para pemimpin bangsa yang kini berada di tampuk kekuasaan. Mereka dituntut untuk mampu menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang akomodatif terhadap tawaran-tawaran wacana ideologis lain. Di pihak lain, di sini pula letak tanggung jawab historis mereka yang kini mencoba menawarkan ideologi alternatif itu, termasuk dari kalangan faksi-faksi Islam.

Dalam sebuah diskusi buku ‘Wacana Ideologi Negara Islam’ karya Al Chaidar di Masjid Ukhuwah Islamiyah Univeritas Indonesia, Depok (9 April ‘99), Fahri Hamzah mengemukakan pandangannya tentang bagaimana kita seharusnya mensikapi munculnya tawaran ideologi Negara Islam sebagai wacana alternatif bagi ideologi negara saat ini seperti dilakukan Al Chaidar, aktivis muda DI. Dalam perspektif Fachry tawaran ideologi alternatif Al Chaidar itu tidak lain dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan proses dialogis di antara komponen bangsa. Dialog yang jujur, terbuka, cerdas dan penuh pengertian sangat dibutuhkan saat dimana kita saat ini mengalami keterpurukan akibat iklim politik yang tertutup selama beberapa dekade lalu.

Ikhtiar tawaran dialog Al Chaidar itu perlu didukung. Dan dalam proses dialog itu kita harus terus menerus melakukan kritik-kritik tajam terhadap gagasan-gagasan Al Chaidar. Atau kepada siapa pun yang menawarkan wacana ideologi alternatif saat ini. Ini perlu dilakukan menurut Fachry agar ia ‘tidak jalan sendirian’, lalu justru membahaya-kan tidak hanya bagi dirinya. Tapi juga bagi orang lain. Dengan melakukan kritik terus menerus, kita memperkuat basis argumentasi wacana ideologi Negara Islam yang ditawarkan Al Chaidar. Di sisi Al Chaidar sendiri ia perlu mensikapi kritik-kritik itu secara dewasa, cerdas dan terbuka dan menghindari sikap mau menang sendiri. Sikap mau menang sendiri jelas menutup rapat-rapat pintu dialog.
Saya sependapat dengan Fachry. Wacana ideologi yang ditawarkan Al Chaidar perlu dikritik agar ia tidak kebablasan dan gegabah. Ia dituntut memiliki kesadaran historis dalam menawarkan sebuah ideologi negara alternatif mengingat persoalan ini bukan persoalan sepele. Dan, tidak menawarkan ideologi alternatif itu sebagai ekpe-rimentasi belaka. Suatu kekeliruan ‘kecil’ yang tidak perlu, bisa akan berdampak besar bagi perjalanan sejarah Islam Indonesia di masa depan. Bila kebablasan bukan tidak mungkin TNI akan mengambil sikap keras. Sejarah lampau hubungan TNI-DI telah membuktikan hal itu. Ideologi negara bagi TNI adalah masalah amat prinsipil. Masalah hidup-matinya. Menawarkan ideologi Negara Islam dengan cara mendongkel ideologi Pancasila diibaratkan Prof. Mansur Suryanegara “membangunkan macan tidur.”

Era liberalisasi ideologi saat ini patut disambut antusia, sekaligus kewaspadaan penuh. Mengapa? Proses ideologisasi potensial menimbulkan konflik politik di antara kelompok-kelompok masyarakat. Konflik ideologis sangatlah serius implikasinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita sudah mengalaminya di era pergerakan nasional dan dekade 1950-1960’an. Konflik ideologi itu mencapai puncaknya dalam tragedi berdarah G 30 S/PKI 1965. Di sisi lain, liberalisasi ideologi membuka peluang Komunisme PKI untuk merasa berhak dijadikan wacana ideologi alternatif pula. Ini tentu merugikan umat Islam. Oleh karena itu usaha ‘pendongkelan’ Pancasila yang gejalanya nampak akhir-akhir ini bila kebablasan akan merugikan umat Islam sendiri.
Jadi bagaimana pun, dalam mensikapi sejarah DI dan ideologi Negara Islam kita selalu dituntut hati-hati, kritis, objektif dan evaluatif. Agar tidak terjebak dalam --meminjam Jalaluddin Rakhmat-- jebakan determinisme sejarah (historical determi-nism). Orang yang terjebak dalam determinisme sejarah, menganggap apa yang terjadi dalam sejarah Islam masa lampau sebagai acuan yang paling absah (legitimate) dan ideal karena itu patut dijadikan contoh. Masa lalu dijadikan patokan kebenaran bagi masa kini. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Dalam sejarah ada ‘mutiara hikmah yang patut diambil sebagai pelajaran, namun ada juga ‘warisan buruk’ yang mesti dibuang ke tempat sampah.’ Generasi muda Islam saat ini dituntut kritis mensikapinya.
Di sisi lain, sejarah merupakan suatu proses kreatif dan inovatif yang kerap melahirkan model-model pergerakan Islam yang baru ‘sama sekali’ dengan apa yang pernah muncul di masa lampau. Ini karena, seperti dikatakan Hegel, setiap zaman memiliki ‘jiwanya sendiri’ (zeitgeist). Prilaku mencontoh gerakan-gerakan Islam masa lampau tanpa sikap objektif dan kritis samalah artinya dengan memasukkan diri ke dalam jebakan determinisme sejarah itu. Determinisme sejarah mematikan proses kreativitas dan inovatif. Mudah-mudahan penawaran ideologi alternatif yang dike-mukakan Al Chaidar tidak terjebak dalam determinisme sejarah itu.

EPILOG
Karya tentang DI dan pemikiran politik Kartosoewirjo ini merupakan upaya untuk menawarkan proses dialogis yang kreatif, cerdas dan konstruktif. Oleh karena itu perlu disambut baik. Dari segi akademis upaya ini tentu memiliki makna yang cukup berarti mengingat selama ini karya tentang pemikiran politik Kartosoewirjo apalagi yang ditulisnya sendiri tergolong langka dan sukar ditemukan. Bagi saya ini mengherankan, sebab ketokohan Kartosoewirjo dalam sejarah Indonesia kontemporer tak perlu dipertanyakan. Apa pun kekhilafan politiknya di masa lampau, Kartosoewirjo tetaplah seorang tokoh sejarah yang pemikiran dan prilaku politiknya perlu dikaji. Dari kajian itu, generasi kini dan mendatang mungkin bisa memetik hikmahnya. Mengambil apa yang baik, membuang segala yang buruk.

Penerbitan karya ini melengkapi bacaan kita tentang pemikiran politik Indonesia yang telah ada yaitu karya Dr. Deliar Noer, ‘Pengantar ke Pemikiran Politik’ dan karya suntingan Dr. Herbert Feith dan Dr. Lance Castles, ‘Indonesian Political Thinking 1945-1965.’ Keduanya karya klasik yang selama ini dijadikan buku teks di pelbagai perguruan tinggi, khususnya untuk studi pemikiran politik Indonesia. Karya Deliar memfokuskan pembahasannya pada pemikiran tentang hubungan agama-negara, demokrasi dan kebangsaan sebelum dan sesudah masa perjuangan kemerdekaan.
Feith dan Castles mengoleksi tulisan dan pidato yang berisi pemikiran politik para negarawan dan tokoh politik Indonesia terkemuka (1945-1965) yang mewakili lima ‘politik aliran’ atau ideologi: Islam, Jawa Tradisional, Nasionalisme, Marxisme, dan Sosialisme Demokrasi. Jadi pemikiran politik dalam buku ini sangat variatif; ada pemi-kiran politik tokoh PKI (Aidit), Nasionalis Radikal (Soekarno), Masyumi (Natsir), Jawa Tradisional (Atmodarminto), Partai Sosialis Indonesia (Syahrir) dan lain-lain.

‘Anehnya’ karya Feith dan Castles itu tidak memuat satu pun tulisan atau pidato Kartosoewirjo. Saya katakan ‘aneh’ karena ketokohan Kartosoewirjo dan pemikiran-pemikiran politiknya tidak kalah pengaruhnya dibanding tokoh-tokoh sejarah lain seperti Syahrir, Soekarno, Natsir, atau Aidit. Apalagi dibandingkan dengan Atmodarminto misalnya, jelas ketokohan Kartosoewirjo atau pengaruh pemikirannya jauh melebihi pengaruh anggota Dewan Konstituante dari kelompok abangan itu. Apakah karena kedua editor buku itu tidak memiliki sumber-sumber otentik tulisan atau pidato Kartosoewirjo? Karena pertimbangan akademis, ataukah pertimbangan politis? Meng-ingat integritas keilmuan dua penyunting itu, saya percaya alasan pertama dan kedua, bukan yang ketiga (pertimbangan politis) yang mendasari tidak dimuatnya pemikiran Kartosoewirjo dalam buku itu. Ada beberapa studi awal tentang DI dan Kartosoewirjo seperti yang ditulis Pinardi, Hersri dan Joebaar Ayoeb, serta Soebardi. Karya mendalam mengenai topik yang sama dilakukan Nazaruddin Syamsuddin, Anhar Gonggong, Al Chaidar dan Agus Nugraha. Namun sayangnya, tidak semua karya itu ditulis dengan tujuan akademis. Karya-karya itu termasuk kajian terbaik mengenai Kartosoewirjo dan DI, meskipun ada di antaranya yang ditulis sarat kepentingan politik. Karya Pinardi misalnya, meskipun kaya dan data ‘akurat’ - lebih merupakan pamplet politik - propaganda anti Darul Islam dan Kartosoewirjo- daripada kajian akademis yang ‘objektif dan jujur’. Ada indikasi karya Pinardi ditulis untuk mendukung usaha operasi militer dan Soekarno (didukung PKI) mengikis sisa-sisa pengaruh ideologi DI paska kematian Kartosoewirjo.

Selama ini kajian DI dan Kartosoewirjo lebih banyak dilakukan oleh kaum Indo-nesianists asing, seperti: Karl D. Jackson (1990), Hiroko Horikoshi, Nieuwenhijze, Van Dijk , B.J. Boland dan Dengel (1995). Dalam menganalisis Darul Islam dan peran historis Kartosoewirjo, mereka --sebagaimana umumnya Indonesianis asing-- kerap terjebak oleh bias-bias orientalisme dan Islamo-phobia, sehingga karya akademis yang dilahirkan tidak jarang memberikan gambaran distortif. Bias orientalisme dan Islamo-phobia itu relatif sukar kita temukan dalam karya Al Chaidar atau Agus Nugraha.

Dengan diterbitkannya buku berisi pemikiran politik Kartosoewirjo ini tentu semakin memperkaya khazanah intelektual Islam Indonesia. Lahirnya karya ini patut disyukuri. Kelahiran karya ini mesti dipandang sebagai suatu langkah maju tidak hanya dalam konteks perkembangan dunia penerbitan buku, tapi juga dunia keilmuan. Saat ini, seperti telah dikemukakan di atas, bangsa kita perlu mengenal tokoh-tokoh sejarah dengan segala sisi ‘plus-minus’ peran-peran historis mereka. Oleh karena itu, kajian-kajian akademis atas pemikiran tokoh-tokoh itu sangat strategis. Di sinilah makna penting penerbitan buku ini.

Saya tidak menafikan kenyataan bahwa ada sebagian kalangan dihinggapi rasa khawatir karya ini dijadikan ‘instrumen’ sosialisasi dan penyebaran gagasan-gagasan ‘Islam ekstrim’ dan ideologi Negara Islam. Bagi mereka yang pernah mengalami per-golakan sejarah masa lampau khususnya di kalangan TNI (Angkatan ‘45) kekhawa-tiran itu cukup beralasan karena citra Kartosoewirjo dan DI bagi mereka identik dengan trauma sejarah dan pemberontakan. Angkatan muda saat ini relatif ‘bebas’ dari trauma sejarah itu, sehingga mampu memandang jernih persoalan Kartosoewirjo dan DI. Di kalangan TNI pun mulai tumbuh paradigma baru yang relatif bebas dari trauma sejarah itu. Ada perubahan paradigmatik, khususnya di kalangan para perwira muda TNI. Dalam kaitan ini, seorang perwira tinggi TNI, Mayjen Agus Wirahadikusumah mengatakan, “Kita tidak usah bicara lagi masalah radikal kanan atau kiri, komunis atau liberal, siapa pun dipersilakan mengembangkan pikirannya. Yang penting taat hukum.”
Saat ini kita memang dituntut berfikir positif (positive thinking) dalam menatap sejarah masa silam itu. Sebab bagaimana pun sejarah masa silam itu bagian dari alam ‘ingatan kolektif’ (collective memory) yang membentuk kejatidirian bangsa kita saat ini. Yang penting dalam menatap masa silam itu, kita pandai-pandailah mengambil pelajaran darinya. Pengalaman (masa lampau) adalah guru yang paling baik. Lagi pula seperti dikatakan Bung Karno, kita tidak bisa melarikan diri dari sejarah (We can not escape from history). Mudah-mudahan karya ini, terlepas dari kelemahan dan kekurang-annya, bisa memberikan hikmah dan pencerahan bagi kita semua. Dan dengan itu kita menyongsong Indonesia baru yang demokratis, adil, makmur dan memperoleh ampunan Allah. Wallahu a’lam bis showwab.