Recent Posts

settia

HAKEKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PEDAGOGIK DALAM PANDANGAN ISLAM




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Istilah pendidikan adalah terjemahan dari bahasa yunani,yaitu paedagogie. Paedagogie asal katanya adalah pais yang artinya anak dan again yang terjemahannya adalah membimbing dengan demikian maka paedagogie berarti bimbingan yang diberikan kepada anak sedangkan orang yang memberikan bimbingan pada anak disebut paedagogie. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie tersebut berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa.
Terkait dengan kata bimbingan sangat erat hubungannya dengan yang namanya pendidikan karna muatan dalam pendidikan itu sendiri adalah membimbing jadi sudah sepantasnya jika kita memperhatikan pendidikan di seluruh dunia ini khususnya Indonesia seiring dengan era yang serba gelobal ini.
Untuk itu, ilmu pendidikan memang peranan yang sangat penting dan merupakan ilmu yang mempersiapkan tenaga kependidikan yang professional, sebab kemampuan professional bagi guru dalam melaksanakan peroses belajar-mengajar merupakan sarat utama.ilmu pendidikan merupakan salah satu bidang pengjaran yang harus ditempuh para siswa lembaga pendidikan dalam rangka mempersiapkan tenaga guru dan tenaga ahli kependidikan lainnya yang professional.

1.2 Rumusan Masalah
a. Apa hakikat kejadian manusia sebagai makhluk pedagogik dalam Islam?
b. Bagaimana pandangan islam tentang teori nativisme, empirisme, kovergensi?
c. Apa potensi-potensi dasar manusia dan implikasi terhadap pendidikan?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui hakikat kejadian manusia sebagai makhluk pedagogik dalam Islam
b. Memahami pandangan islam tentang teori nativisme, empirisme, kovergensi
c. Mengetahui potensi-potensi dasar manusia dan implikasi terhadap pendidikan


BAB II
PEMBAHASAN

A.
Hakikat Kejadian Manusia Sebagai Makhluk Pedagogik Dalam Islam


Manusia sebagaimana mahluk hidup lain, mempunyai organ-organ penyesuai terhadap alam sekitarnya seperti sistem pengolah energi, sistem indera perasa dan sebagainya. Sistem-sistem tersebut bekerja saling mendukung membentuk sistem yang lebih besar. Sistem yang kompleks pasti bekerja dengan kendali, seolah ada program canggih yang mengendalikan sistem itu. Tanpa adanya program pengendali bagaikan sebuah komputer tanpa software.

Kelebihan manusia dibanding mahluk lain terletak pada kecerdasannya. Dengan kecerdasan manusia dapat membangun karya-karya yang berkembang, menjadi tradisi, teknologi, peradaban dan kebudayaan tinggi, semua bermula dari jalan pikiran (kecerdasan). Pikiran dalam konteks kecerdasan, itulah yang mengendalikan seluruh sistem organ manusia baik sadar maupun tidak.

Al-Qur’an menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah. Manusia diciptakan Allah SWT. Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai kemampuan. Oleh karena itu, manusia wajib bersyukur atas karunia yang telah diberikan Allah Swt. Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah.[1] Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, Al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Manusia yang sekarang ini, prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah payah. Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara permatozoa dengan ovum.

Manusia menurut pandangan Al-Qur’an, Al-Qur’an tidak menjelaskan asal-usul kejadian manusia secara rinci. Dalam hal ini Al-Qur’an hanya menjelaskan mengenai prinsip-prinsipnya saja. Ayat-ayat mengenai hal tersebut terdapat dalam surat Nuh 17, Ash-Shaffat 11, Al-Mukminuun 12-13, Ar-Rum 20, Ali Imran 59, As-Sajdah 7-9, Al-Hijr 28, dan Al-Hajj 5.

Bagi pendidik, istilah ini pasti sudah tidak asing lagi, dan ilmunya menjadi sebuah acuan dalam praktek mendidik anak. Jika dilihat dari segi istilah, pedagogik sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu paedos (anak) dan agogos (mengantar, membimbing, memimpin).

Dari dua istilah diatas timbul istilah baru yaitu paedagogos dan pedagog, keduanya memiliki pengertian yang hampir serupa, yaitu sebutan untuk pelayan pada zaman Yunani kuno yang mengantarkan atau membimbing anak dari rumah ke sekolah setelah sampai di sekolah anak dilepas, dalam pengertian pedagog intinya adalah mengantarkan anak menuju pada kedewasaan

Pada hakekatnya, manusia terlahir sebagai khalifah dan hamba Allah SWT. Selain untuk menyembah Allah SWT, manusia juga sebagai pemimpin di muka Bumi. Maka jelas bahwa disini peran manusia sebagai pemimpin, sehingga seorang pemimpin harus mendidik anak buahnya. Ibarat seorang ayah yang menjadi pemimpin dalam keluarga, maka sudah seharusnya dia membimbing anak dan istrinya menuju rumah tangga yang sakinah, mawaddah warrohmah. Begitu juga dengan guru, dia harus bias membimbing, mengantar dan memimpin peserta didik agar menjadi sosok yang lebih baik.[2] Allah menciptakan manusia dalam keadaan fitrah dengan dibekali beberapa potensi yakni potensi yang ada dalam jasmani dan rohani. Bekal yang dimiliki manusia pun tidak hanya berupa asupan positif saja, karena dalarn diri manusia tercipta satu potensi yang diberi nama nafsu. Dan nafsu ini yang sering membawa manusia lupa dan ingkar dengan fitrahnya sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi. Untuk itu manusia perlu mengembangkan potensi positif yang ada dalam dirinya untuk rnencapai fitrah tersebut. Dan sebagai pendidik pertama di bumi, orang tua adalah yang berkewajiban memberikan pengetahuan pertama kepada anak-anaknya.


B. Pandangan Islam Tentang Teori Nativisme, Empirisme, Korvengensi

Ketika kita melihat perjalanan sejarah ilmu perkembangan, setidaknya tercatat beberapa teori besar tentang perkembangan telah dapat membawa pengikut yang cukup fanatik tentang adanya perkembangan manusia ini, banyak sekali perbedaan pendapat tentang adanya faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan perkembangan manusia baik segi fisik maupun segi psikologik. Teori-teori tersebut antara lain:

Teori nativisme, menyebutkan bahwa dasar atau watak manusia diatur dan ditentukan oleh alam semesta pada saat lahir, faktor-faktor nativus (keturunan) yang merupakan faktor bawaan yang dibawa oleh individu sejak ia lahir, sehingga nasib pun bisa kita atur dengan adanya teori ini, kurang lebih seperti itulah yang dikemukakan oleh Schopenhauer.

Teori Empirisme, John Locke menyatkan bahwa perkembangan seorang individu akan ditentukan oleh lingkungan atau pengalaman-pengalaman yang diperoleh individu selama menjalani kehidupanya. Bila disimpulkan pendidikanlah yang akan membawa nasib manusia untuk ke depannya.

Teori konvergensi ,William stearn meyatakan bahwa perkembangan seorang individu tidak hanya di tentukan oleh nativisme dan empirisme saja melainkan ke dua faktor tersebut yang saling berkaitan(mempengaruhi).[3]

Terlepas dari pengertian teori ini, paling tidak teori-teori ini saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Teori nativisme sangat menitikberatkan bahwa proses perkembangan individu ditentukan oleh segi keturunan atau pembawaan saat individu itu lahir, sebaliknya teori empirisme sangat menitikberatkan empirisme (lingkungan), keduanya merupakan teori yang sangat berentangan. Namun ada teori yang mempersatukan kedua aliran tersebut.

Dari contoh diatas, kita boleh dan sah-sah saja percaya dengan adanya teori-teori diatas, kitapun juga boleh memilih teori mana yang bisa kita jadikan pandangan atau dasar hidup kita, baik teori nativis,empirisme atau konvergensi karena teori-teori tersebut cukup banyak bukti yang menandakan kebenaran dari teori-teori itu.

Lalu pertanyaanya "apakah teori-teori ini cukup untuk dapat menjadi dasar keyakinan untuk membawa hidup kita lebih nyaman..?" "bukankah pada dasarnya salah satu kebutuhan manusia adalah need of free of failure (bebas dari kesengsaraan).?"

Telah dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa manusia diciptakan Allah SWT Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai kemampuan. Islam menghargai beberapa pendapat yang ada tentang teori kejadian menusia, meskipun pendapat itu salah maupun benar. Mengapa? Karena Islam memaklumi bahwa teori berasal dari buah pikiran atau ijtihaj mereka yang tidak mengerti sumber yang paling benar yaitu Al-Qur’an. Akan tetapi dari beberapa pendapat nativisme, empirisme dan konvergen ketiganya memiliki satu atau dua persamaan. Memang benar manusia lahir membawa potensi masing-masing, namun potensi itu bukan dari alam melainkan dari Allah SWT. Benar pula bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, namun lingkungan bukan faktor keseluruhan, karena masih banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia.


C. Teori Fitrah dalam Pendidikan Islam

Teori fitrah berbeda dengan teori nativisme, empirisme dan konvergen. Adapun inti pokok letak perbedaannya adalah teori fitrah lebih lengkap membahas teori kejadian manusia. Manusia terlahir membawa fitrah yang diberi Allah, kemudian lewat pendidikan fitrah itu ditumbuhkembangkan menuju arah yang lebih baik. Nativisme mengatakan fitrah itu dari alam sehingga takdir itu dapat ditentukan sendiri. Hal ini bertentangan dengan Islam yang sudah jelas bahwa takdir terbagi menjadi dua, yaitu takdir yang bisa dirubah dan takdir mutlak. Empirisme mengatakan bahwa pendidikan dan pengalaman-pangalaman hidup adalah faktor utama dalam perkembangan individu. Sedangkan konvergen, merupakan gabungan keduanya. Sehingga teori Fitrah lebih condong ke arak konvergen, namun perbedaanya terletak pada fitrah manusia yang berasal dari Allah SWT bukan dari alam.

D. Potensi-potensi Dasar Manusia dan Implikasinya Terhadap Pendidikan

Dalam Islam, potensi yang dimiliki manusia banyak ragamnya. Abdul Mujib menyebutkan ada tujuh macam potensi bawaan manusia, yaitu :
a. Fitrah
Islam menyatakan bahwa manusia lahir di dunia membawa pembawaan yang disebut fitrah. Fitrah ini berisi potensi untuk berkembang. Provesi ini dapat berupa keyakinan beragama, perilaku untuk menjadi baik atau menjadi buruk dan lain sebagainya yang kesemuanya harus dikembangkan agar ia bertumbuh secara wajar sebagai hamba Allah.
Rasulullah saw bersabda
كل مولود يولد على الفطرة فاءبواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه (الحديث)
Artinya :
“ Semua anak dilahirkan membawa fitrah (bakat keagamaan), maka terserah kedua orang tuanya untuk menjadikan beragam Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Bila ditafsirkan lebih lanjut, istilah fitrah sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka dapat diambil pengertian secara terminologis sebagai berikut,
Fitrah yang disebutkan dalam ayat tersebut mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada faham nativisme, karena kata fitrah mengandung makna kejadian, yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapapun atau lingkungan apapun, karena fitrah merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
Berdasarkan interpretasi demikian, maka Ilmu Pendidikan Islam bisa dikatakan berpaham Nativisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya. Proses kependidikan sebagai upaya untuk mempengaruhi jiwa anak didik.
Dalam al Qur’an, fitrah ketika dikorelasikan dengan kalimat lain, mempunyai banyak makna, diantaranya ialah: (1) fitrah berarti suci, fitrah disini mempunyai makna kesucian psikis yang terbebas dari dosa dan penyakit rohaniyah (2) fitrah berarti ber-Islam, yang berarti beragama Islam (fitrah berarti mengakui keesaan Allah), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pendapat lain menyatakan bahwa jenis fitrah itu memiliki banyak dimensinya, tetapi dimensi yang terpenting ialah:[4]
1. Fitrah Agama; Sejak lahir, manusia mempunyai naluri ata insting beragama, insting yang mengakui adanya Dzat yang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT.
2. Fitrah Intelek; Intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.
3. Fitrah Sosial; Kecenderunagn manusia untuk hidup berkelompok yang di dalamnya terbentuk cirri-ciri yang khas yang disebut dengan kebudayaan.
4. Fitrah Susila; Kemampuan manusia untuk mempertahankan diri dari sifat amoral, atau sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah yang menciptakannya
5. Fitrah Ekonomi (mempertahankan hidupnya); Daya manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan upaya memberikan kebutuhan jasmaniyah, demi kelangsungan hidupnya.
6. Fitrah Seni; Kemampuan manusia yang dapat menimbulkan daya estetika, yang mengacu pada sifat al jamal Allah.
Fitrah Kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihargai, kawin, cinta tanah air, dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya.
Pengembangan berbagai potensi manusia (fitrah) dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui berbagai institusi. Belajar yang dimaksud tidak terfokus melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi juga dapat dilakukan di luar sekolah, baik dalam keluarga, masyarakat, ataupun lewat institusi social keagamaan yang ada atau bisa juga melalui pondok pesantren.
b. Fitrah Manusia

Konsep fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar kejadian manusia dapat dijelaskan dengan meninjau:
(1) Hakekat wujud manusia
(2) Tujuan penciptaannya
(3) Sumber Daya Insani (SDM)
(4) Citra manusia dalam Islam.
Dari hakekat wujudnya sebagai makhluk individu dan sosial dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan Islam keberadaan pribadi seseorang adalah:
1. Pribadi yang aktivistik karena tanpa aktivitas dalam masyarakat berarti adanya sama dengan tidak ada (wujuduhu ka ‘adamihi), artinya hanya dengan aktivitas, manusia baru diketahui bagaimana pribadinya.
2. Pribadi yang bertanggung jawab secara luas, baik terhadap dirinya, terhadap lingkungannya, maupun terhadap Tuhan.
3. Dengan kesimpulan di atas mengeinplisitkan adanya pandangan rekonstruksionisme (rekonstruksi sosial) dalam pendidikan Islam melalui individualisasi dan sosialisasi.

c. Implikasi Fitrah Manusia Dalam Pendidikan

1. Pemberian stimulus dan pendidikan demokratis
Manusia ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh dikatakan sudah selesai, “Physically and biologically is finished”, tetapi dari segi rohani, spiritual dan moral memang belum selesai, “morally is unfinished”.
Manusia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan responsif, sehingga ia menjadi makhluk yang responsible (bertanggung jawab). Oleh karena itu pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.
2. Kebijakan pendidikan perlu pertimbangan empiris.
Dengan bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia dalam pendidikan islam dapat disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan sejauh menyangkut development dan becoming sesuai dengan citra manusia menurut pandangan islam.

d. Pengertian dan Perlunya Pedagogik

Bagi pendidik, istilah ini pasti sudah tidak asing lagi, dan ilmunya menjadi sebuah acuan dalam praktek mendidik anak. Jika dilihat dari segi istilah, pedagogik sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu paedos (anak) dan agogos (mengantar, membimbing, memimpin).

Dari dua istilah diatas timbul istilah baru yaitu paedagogos dan pedagog, keduanya memiliki pengertian yang hampir serupa, yaitu sebutan untuk pelayan pada zaman Yunani kuno yang mengantarkan atau membimbing anak dari rumah ke sekolah setelah sampai di sekolah anak dilepas, dalam pengertian pedagog intinya adalah mengantarkan anak menuju pada kedewasaan

Istilah lainnya yaitu Paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak, Pedagogi yang merupakan praktek pendidikan anak dan kemudian muncullah istilah Pedagogik yang berarti ilmu mendidik anak.

Kadang sebagian orang mengartikan bahwa pedagogik merupakan ilmu pendidikan, pemaknaan ini tidak berarti salah namun juga tidak sepenuhnya benar, mengapa? Karena jika ditinjau dari makna pendidikan secara luas maka Pendidikan adalah hidup. Lebih tepatnya segala pengalaman di berbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi perkembangan individu.

Dari pengertian diatas maka bisa dipahami ada beberapa tingkatan dalam pendidikan, sehingga menimbulkan cabang ilmu pendidikan yang dikembangkan para ahli yaitu pendidikan pada anak yang disebut Pedagogik, ilmu pendidikan bagi orang dewasa yang disebut Andragogi serta pendidikan bagi ilmu pendidikan manula yang disebut Gerogogi.

Jelaslah bahwa Pedagogik terbatas pada ilmu pendidikan anak atau ilmu mendidik anak. Maka timbul pertanyaan lain, kapankah seorang anak masuk dalam kawasan pedagogik? Menurut M.J. Langeveld, pendidikan baru terjadi ketika anak telah mengenal kewibawaan, syaratnya yaitu terlihat pada kemampuan anak memahami bahasa, karena sebelum itu dalam pedagogik anak tidak disebut telah dididik yang ada adalah pembiasaan. Sedang batas atasnya yaitu ketika anak telah mencapai kedewasaan atau bisa disebut orang dewasa.

Jadi, pengertian bahwa pedagogik adalah ilmu pendidikan berarti benar dalam pengertian pendidikan pedagogik, namun berarti salah jika mengacu pada makna pendidikan secara luas.

Kemudian, mengapa Pedagogik diperlukan? Padahal pedagogik yang merupakan rangakaian teori kadang berlainan dengan praktek di lapangan? Ada dua alasan yang melandasinya, yaitu bahwa pedagogik sebagai suatu sistem pengetahuan tentang pendidikan anak diperlukan, karena akan menjadi dasar bagi praktek mendidik anak. Selain itu bahwa pedagogik akan menjadi standar atau kriteria keberhasilan praktek pendidikan anak. Kedua, manusia memiliki motif untuk mempertanggungjawabkan pendidikan bagi anak-anaknya, karena itu agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, praktek pendidikan anak memerlukan pedagogik sebagai landasannya agar tidak jadi sembarangan.

Untuk meyakinkan lebih jauh, pedagogik secara jelas memiliki kegunaan diantaranya bagi pendidik untuk memahami fenomena pendidikan secara sistematis, memberikan petunjuk tentang yang seharusnya dilaksanakan dalam mendidik, menghindari kesalahan-kesalahan dalam praktek mendidik anak juga untuk ajang untuk mengenal diri sendiri dan melakukan koreksi demi perbaikan bagi diri sendiri.

Menurut saya sendiri, pedagogik memang perlu dipelajari bahkan jika bisa untuk setiap orang, tanpa terbatas pada identitas sebagai calon guru. Karena sebenarnya kita semua akan atau mungkin anda yang telah memiliki keluarga telah menjadi seorang pendidik. Saya menyadari dan mengetahui pada dasarnya manusia mempunyai naluri untuk mendidik tanpa mempelajari teori, buktinya banyak orang tua berhasil mendidik anak mereka sampai kesuksesan, tanpa mempelajari pedagogik, namun teoripun lahir dari praktek di lapangan.
BAB III
PENUTUP

Hakikat kejadian manusia, manusia sendiri berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai kemampuan. Manusia lahir membawa fitrahnya masing-masing yang harus ditumbuhkembangkan dan diarahkan kearah yang baik agar menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur, intelektual dan bertaqwa.

Beberapa teori tentang kejadian manusia; nativisme, menyebutkan bahwa dasar atau watak manusia diatur dan ditentukan oleh alam semesta pada saat lahir, sehingga nasib pun bisa diatur; empirisme, bahwa perkembangan seorang individu akan ditentukan oleh lingkungan atau pengalaman-pengalaman yang diperoleh individu selama menjalani kehidupanya. Bila disimpulkan pendidikanlah yang akan membawa nasib manusia untuk ke depannya; konvergensi, bahwa perkembangan seorang individu tidak hanya di tentukan oleh nativisme dan empirisme saja melainkan ke dua faktor tersebut yang saling berkaitan(mempengaruhi). Maka teori fitrah, akan lebih condong dengan konvergensi. Hanya saja fitrah manusia berasal dari Allah SWT, bukan dari alam.

Pada akhir tujuan dari kegiatan pendidikan ialah diharapkan adanya perubahan pada peserta didik. Sehingga implikasi dari kegiatan pendidikan adalah membentuk pribadi yang berbudi pekerti luhur, intelektual serta bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan sabda Rosulullah,”Kebajikan itu ialah akhlak yang baik dan dosa itu ialah sesuatu yang merisaukan dirimu dan kamu tidak senang bila diketahui orang lain. (HR. Muslim)

Demikian makalah ini, adapun kritik dan saran yang membangun dari pembaca akan membantu kesempurnaan makalah ini sehingga menjadi sebuah wacana yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Faisal, Sanapiah. 1899, Sosiologi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional
  2. N, Sudirman. 1991, Ilmu Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  3. Syarifuddin. 2002, Menejemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Jakarta: PT. Gramedia Indonesia.
  4. Zaenudin H.R.L. dkk., 1985, Pusat Sumber Belajar, Dirjen P.T. Dep. P dan K Jakarta.

[1] Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 53-112.
[2] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h. 74-75.
[3] Battle dan Robert L. Shannon, Gagasan Baru dalam Pendidikan, terj. Sams Hutabarat, (Jakarta: Mutiara, 1978),hlm. 31.
[4] Syahminin Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), h.