Recent Posts

settia

DEFINISI DAN PEMAHAMAN TENTANG FIQIH

PENGERTIAN FIQIH

Fiqh menurut Etimologi
Fiqh menurut bahasa berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT : "Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku." ( Thaha:27-28). Pengertian fiqh seperti diatas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud: 91, Surah At Taubah: 122, Surah An Nisa: 78

Fiqh dalam terminologi Islam
Dalam terminologi Islam, fiqh mengalami proses penyempitan makna; apa yang dipahami oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di genersi kemudian, karenanya kita perlu kemukakan pengertian fiqh menurut versi masing-masing generasi;

Pengertian fiqh dalam terminologi generasi Awal 

Dalam pemahaman generasi-generasi awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi'in dst.), fiqh berarti pemahaman yang mendalam terhadap Islam secara utuh, sebagaimana tersebut dalam Atsar-atsar berikut, diantaranya sabda Rasulullah SAW:

"Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan seorang Faqih." (HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah)

Ketika mendo'akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata:

"Ya Allah, berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir." (HR Bukhari Muslim)

Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif, ia berkata:

"Para ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para cendekiawan kami, Wahai Rasulullah ! tidak pernah mengatakan apapun." (HR Bukhari)

Dan ketika Umar bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan khutbah yang penting pada para jama'ah haji, Abdurrahman bin Auf mengusulkan untuk menundanya, karena dikalangan jama'ah bercampur sembarang orang, ia berkata:

"Khususkan (saja) kepada para fuqoha (cendekiawan)." (HR Bukhari)

Makna fiqh yang universal seperti diatas itulah yang difahami generasi sahabat, tabi'in dan beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu buku akidahnya dengan "al Fiqh al Akbar." Istilah fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda dengan makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda:

"Dan akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur'an dan menyia-nyiakan norma-normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang memberi, mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan hawa nafsunya sebelum beramal." (HR Malik)

Lebih jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan diatas, Shadru al Syari'ah Ubaidillah bin Mas'ud menyebutkan: "Istilah fiqh menurut generasi pertama identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan, sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia, dan aku tidak mengatakan (kalau) fiqh itu sejak awal hanya mencakup fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang dhahir saja."

Demikian juga Ibnu Abidin, beliau berkata: "Yang dimaksud Fuqaha adalah orang-orang yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam i'tikad dan praktek, karenanya penamaan ilmu furu' sebagai fiqh adalah sesuatu yang baru."

Definisi tersebut diperkuat dengan perkataan al Imam al Hasan al Bashri: "Orang faqih itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami agamanya, konsisten beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara', menahan diri dari privasi kaum muslimin, ta'afuf terhadap harta orang dan senantiasa menasihati jama'ahnya."

Pengertian fiqh dalam terminologi Mutaakhirin 

Dalam terminologi mutakhirin, Fiqh adalah Ilmu furu' yaitu: "mengetahui hukum Syara' yang bersifat amaliah dari dalil-dalilnya yang rinci.

Syarah/penjelasan definisi ini adalah:
- Hukum Syara': Hukum yang diambil yang diambil dari Syara'(Al-Qur'an dan As-Sunnah), seperti; Wajib, Sunah, Haram, Makruh dan Mubah.
- Yang bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan.
- Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah "wa Aqiimus sholaah", bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul Fiqh.

Dengan definisi diatas, fiqh tidak hanya mencakup hukum syara' yang bersifat dharuriah (aksiomatik), seperti; wajibnya sholat lima waktu, haramnya hamr, dsb. Tetapi juga mencakup hukum-hukum yang dhanny, seperti; apakah menyentuh wanita itu membatalkan wudhu atau tidak? Apakah yang harus dihapus dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup sebagiannya saja?

Lebih spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara' yang furu dengan berlandaskan hujjah dan argumen.

HUBUNGAN ANTARA FIQIH DAN AQIDAH ISLAM


Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. 


Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.

Contohnya:


Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.Al maidah:6)

Ruang Lingkup Fiqh

Ruang lingkup pembahasan fiqh sangat luas sekali, ia mencakup pembahasan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan diri pribadinya, atau manusia dengan masyarakat sekitar. Ilmu fiqh mencakup pembahasan tentang kehidupan dunia hingga akhirat, urusan agama atau pun negara serta sebagai peta kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.

Fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang bisa menjadi teropong keindahan dan kesempurnaan Islam. Dinamika pendapat yang terjadi diantara para fuqoha menunjukkan betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas dan berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syari'ah yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lima aksioma, yakni; Agama, akal, jiwa, harta dan keturunan menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi dan tujuan yang jelas, sehingga layak untuk exis sampai akhir zaman.

Pengertian Fiqih dan Ushul Fiqih

Tinjauan bahasa


Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.
Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.

Tinjauan istilah fiqh


Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim : “Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta’ala berfirman: “…dan tunaikanlah zakat!.”

Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut : “Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta’ala berfirman : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai… “.

Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.

Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu :

“Ilmu tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.”
Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf :

“Kumpulan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat. “…..dirikanlah shalat….”(An-Nisaa’: 77)

Atau seperti sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan).” (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Hadits tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar.

Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara’ mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari’ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan :
“Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.”

Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara’; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :
“Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.”

Hubungan Fiqh dengan Syari'ah 


Setelah dijelaskan pengertian fiqh dalam terminologi mutakhirin yang kemudian populer sekarang, dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan antar Fiqh dan Syari'ah adalah:

Bahwa ada kecocokan antara Fiqh dan Syari'ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq disebut "'umumun khususun min wajhin" yakni; Fiqh identik dengan Syari'ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar. Sementara pada sisi yang lain Fiqh lebih luas, karena pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari'ah lebih luas dari Fiqh karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu.

Syariah sangat lengkap; tidak hanya berisikan dalil-dalil furu', tetapi mencakup kaidah-kaidah umum dan prinsif-prinsif dasar dari hukum syara, seperti; Ushul al Fiqh dan al Qawa'id al Fiqhiyyah.
Syari'ah lebih universal dari Fiqh.

Syari'ah wajib dilaksanakan oleh seluruh umat manusia sehingga kita wajib mendakwahkannya, sementara fiqh seorang Imam tidak demikian halnya.

Syari'ah seluruhnya pasti benar, berbeda dengan fiqh.

Syari'ah kekal abdi, sementara fiqh seorang Imam sangat mungkin berubah.


Menelusuri Kembali Makna Fikih dan Syariat

Al-Ghazali berpendapat bahwa secara literal, fikih (fiqh) bermakna al-‘ilm wa al-fahm (ilmu dan pemahaman). (Imam al-Ghazali, Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl, hlm. 5. Lihat juga: Imam al-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, hlm. 509; Imam asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; Imam al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/9). Sedangkan menurut Taqiyyuddin al-Nabhani, secara literal, fikih bermakna pemahaman (al-fahm). (Taqiyyuddin an-Nahbani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/5).

Sementara itu, secara istilah, para ulama mendefinisikan fikih sebagai berikut:
Fikih adalah pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat praktis (‘amaliyyah) yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci (tafshîlî). (An-Nabhani, ibid., III/5).

Fikih adalah pengetahuan yang dihasilkan dari sejumlah hukum syariat yang bersifat cabang yang digunakan sebagai landasan untuk masalah amal perbuatan dan bukan digunakan landasan dalam masalah akidah. (Al-Amidi, op.cit., I/9).

Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. (Asy-Syaukani, op.cit., hlm.3).

Sedangkan syariat/syariah (syarî‘ah) didefinisikan oleh para ulama ushul sebagai berikut:
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi) (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ‘ aw al-takhyîr, aw al-wadl‘i (An-Nabhani, op.cit., III/31).

Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-mukallafîn. (Al-Amidi, op.cit.)Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd (Al-Amidi, ibid., I/70-71).

Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi) (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ‘ aw al-takhyîr, aw al-wadl‘i. (Asy-Syaukani, op.cit., hlm. 7).

Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa fikih dan syariat adalah dua sisi yang tidak bisa dipisah-pisahkan meskipun keduanya bisa dibedakan. Keduanya saling berkaitan dan berbicara pada aspek yang sama, yakni hukum syariat.

Fikih adalah pengetahuan terhadap sejumlah hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. Sedangkan syariat adalah hukum Allah yang berlaku pada benda dan perbuatan manusia. Menurut Imam al-Ghazali, fikih mencakup kajian terhadap dalil-dalil dan arah yang ditunjukkan oleh dalil (makna), dari tinjauan yang bersifat rinci. Contohnya, penunjukkan sebuah hadis pada makna tertentu, misalnya nikah tanpa wali secara khusus. (Al-Ghazali, op.cit., hlm. 5). Sedangkan hukum syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ yang berhubungan dengan perbuatan hamba, baik dengan iqtidhâ‘, takhyîr, maupun wadh‘i.

Baik fikih maupun syariat harus digali dari dalil-dalil syariat: al-Quran, Sunnah, Ijma Shahabat, dan Qiyas. Keduanya tidak boleh digali dari fakta maupun kondisi yang ada. Keduanya juga tidak bisa diubah-ubah maupun disesuaikan dengan realitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, realitas masyarakat justru harus disesuaikan dengan keduanya.

Patokan-patokan dalam Fiqh 


Dalam mempelajari fiqh, Islam telah meletakkan patokan-patokan umum guna menjadi pedoman bagi kaum muslimin, yaitu :

Melarang membahas peristiwa yang belum terjadi sampai ia terjadi.

Sebagaimana Firman Allah Ta'ala : "Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu menanyakan semua perkara, karena bila diterangkan padamu, nanti kamu akan jadi kecewa ! tapi jika kamu menayakan itu ketika turunnya al-qur'an tentulah kamu akan diberi penjelasan. Kesalahanmu itu telah diampuni oleh Allah dan Allah maha pengampunlagi penyayang." (Q. S. Al-Maidah: 101)

Dan dalam sebuah hadits ada tersebut bahwa Nabi Saw. telah melarang mempertanyakan "Aqhluthath" yakni masalah-masalah yang belum lagi terjadi.
Menjauhi banyak tanya dan masalah-masalah pelik.
Dalam sebuah hadits di katakan: "Sesungguhnya Allah membenci banyak debat, banyak tanya, dan menyia-nyiakan harta."

"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah disia-siakan, dan telah menggariskan undang-undang, maka jangan dilampui, mengaharamkan beberapa larangan maka jangan dlannggar, serta mendiamkan beberapa perkara bukan karena lupa untuk menjadi rahmat bagimu, maka janganlah dibangkit-bangkit!"

"Orang yang paling besar dosanya ialah orang yang menanyakan suatu hal yang mulanya tidak haram, kemudian diharamkan dengan sebab pertanyaan itu."

Menghindarkan pertikaian dan perpecahan didalam agama.

Sebagaimana Firman Allah Ta'ala: 


"Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah belah !" (Q. S. Ali Imran: 103). 


Dan firmanNya : "Janganlah kamu berbantah-bantahan dan jangan saling rebutan, nanti kamu gagal dan hilang pengaruh!" (Q. S. Al-Anfal 46). Dan firmanNya lagi : "Dan janganlah kamu seperti halnya orang-orang yang berpecah-belah dan bersilang sengketa demi setelah mereka menerima keterangan-keterangan! dan bagi mereka itu disediakan siksa yang dahsyat." (Q. S. Ali Imran 105)

Mengembalikan masalah-masalah yang dipertikaikan kepada Kitab dan sunah. 


Berdasarkan firman Allah SWT: 


"Maka jika kamu berselisih tentang sesuatu perkara, kembalilah kepada Allah dan Rasul." (Q. S. An-Nisa 9). 


Dan firman-Nya: "Dan apa-apa yang kamu perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah." (Q. S. Asy- Syuro: 10).

Hal demikian itu, karena soal-soal keagamaan telah diterangkan oleh Al-qur'an, sebagaimana firman Allah SWT: 


"Dan kami turunkan Kitab Suci Al-qur'an untuk menerangkan segala sesuatu." (QS. An-Nahl 89).
Begitu juga dalam surah: Al-An'am 38, An-Nahl 44 dan An-Nisa 105, Allah telah menjelaskan keuniversalan al Qur'an terhadap berbagai masalah kehidupan.

Sehingga dengan demikian sempurnalah ajaran Islam dan tidak ada lagi alasan untuk berpaling kepada selainnya. Allah SWT berfirman : 


"Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu, telah Ku cukupkan ni'mat karunia-Ku dan telah Ku Ridhoi Islam sebagai agamamu." (Q. S. Al Maidah: 5).

Dan firman Allah SWT:
"Tidak ! Demi Tuhan ! mereka belum lagi beriman, sampai bertahkim padamu tentang soal-soal yang mereka perbantahkan kemudian tidak merasa keberatan didalam hati menerima putusanmu, hanya mereka serahkan bulat-bulat kepadamu." (Q. S. An-Nisa: 66)


Pengertian Syari’ah


Kata syariah yang sering kita dengar adalah pengindonesiaan dari kata Arab, yakni as-Syarî’ah al-Islâmiyyah. Karena asalnya dari kata Arab maka pengertiannya harus kita pahami sesuai dengan pengertian orang-orang Arab sebagai pemilik bahasa itu. Tentu tidak boleh kita pahami menurut selera orang Indonesia. Karena yang lebih mengetahui pengertian bahasa itu adalah pemilik bahasa itu sendiri. Jadi orang non arab untuk memahami istilah syariah itu harus merujuk kepada pengertian orang arab.

Menurut Ibn al-Manzhur yang telah mengumpulkan pengertian dari ungkapan dalam bahasa arab asli dalam bukunya Lisân al’Arab . secara bahasa syariah itu punya beberapa arti. Diantara artinya adalah masyra’ah al-mâ’ (sumber air). Hanya saja sumbr air tidak mereka sebut syarî’ah kecuali sumber itu airnya sangat berlimpah dan tidak habis-habis (kering).

Kata syarî’ah itu asalnya dari kata kerja syara’a. kata ini menurut ar-Razi dalam bukunya Mukhtâr-us Shihah, bisa berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan) dan bayyan-al masâlik (menunjukkan jalan). Sedangkan ungkapan syara’a lahum – yasyra’u – syar’an artinya adalah sanna (menetapkan). Sedang menurut Al-Jurjani, syarî’ah bisa juga artnya mazhab dan tharîqah mustaqîmah /jalan yang lurus.

Jadi arti kata syarî’ah secara bahasa banyak artinya. Ungkapan syari’ah Islamiyyah yang kita bicarakan maksudnya bukanlah semua arti secara bahasa itu.
Suatu istilah, sering dipakai untuk menyebut pengertian tertentu yang berbeda dari arti bahasanya. Lalu arti baru itu biasa dipakai dan mentradisi. Akhirnya setiap kali disebut istilah itu, ia langsung dipahami dengan arti baru yang berbeda dengan arti bahasanya. Contohnya kata shalat, secara bahasa artinya doa. Kemudian syariat menggunakan istilah shalat untuk menyebut serangkaian aktivitas mulai dari takbirat-ul ihram dan diakhiri salam, atau shalat yang kita kenal. Maka setiap disebut kata shalat, langsung kita pahami dengan aktivitas shalat, bukan lagi kita pahami sebagai doa.
Kata syarî’ah juga seperti itu, para ulama akhirnya menggunakan istilah syarîah dengan arti selain arti bahasanya, lalu mentradisi. Maka setiap disebut kata syarî’ah, langsung dipahami dengan artinya secara tradisi itu. Imam al-Qurthubi menyebut bahwa syarî’ah artinya adalah agama yang ditetapkan oleh Allah Swt untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan. Hukum dan ketentuan Allah itu disebut syariat karena memiliki kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Makanya menurut Ibn-ul Manzhur syariat itu artinya sama dengan agama.

Ushul Fiqih
Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah.
Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.
Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Untuk menjelaskan ini, lafadz ushul al fiqh harus dipisah, yakni menjadi ushul dan al fiqh.
Ushul adalah bentuk plural dari kata ashl. Secara etimologi berarti: asal-muasal dari sesuatu, baik secara inderawi maupun rasio. Ulama ushul biasa menggunakan kata ‘ashl’ untuk beberapa makna di bawah ini:

1. Dalil
Kita ambil sebuah contoh, pernyataan: “asal masalah ini adalah ijma’’ adalah berarti “dalil masalah ini adalah ijma’”. Jadi, ushul fiqh dengan makna ini berarti: dalil-dalil fiqh, sebab fiqh dibangun berdasarkan dalil-dalil rasional.

2. Rujukan
Kita ambil sebuah contoh, pernyataan: “asal dari ucapan itu adalah hakikatnya” adalah berarti “rujukan ucapan itu adalah kembali pada hakikat, bukan majas”. Pernyataan “asal qiyas adalah al Quran” adalah berarti “rujukan qiyas adalah al Quran”.

3. Kaidah
Pernyataan “kebolehan makan bangkai bagi orang yang terpaksa adalah pengecualian dari asal” adalah berarti “kebolehan makan bangkai bagi orang yang terpaksa adalah pengecualian dari kaidah umum”. Pernyataan “hukum asal dari fa’il adalah rofa’” adalah berarti (kaidah umum yang berlaku adalah fa’il dibaca rofa’) atau (fa’il harus dibaca rofa’ merupakan kaidah ilmu Nahwu).

4. Hukum Asal
Pernyataan “hukum asal adalah bebas dari tanggungan” berarti “yang dijadikan hukum asal adalah bebasnya seseorang dari sebuah tanggungan, selama tidak ada hal yang menetapkan tanggungan itu padanya.”

Secara etimologi, fiqh berarti: “mengerti atau paham”. Yang dimaksud mengerti bukanlah mutlak mengetahui, melainkan memahami secara mendalam, mendetail dan kontekstual, hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata ‘fiqh’ dalam al Qur’an, di antaranya surat Hud: 91, “Mereka (penduduk Madyan) berkata: hai Syu’aib, kami tidak terlalu mengerti tentang apa yang kamu katakan.” Dan surat An Nisa’: 78, “Maka mengapa orang-orang (munafik) itu hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?.”

Menurut terminologi ulama, fiqh adalah: diskursus tentang hukum-hukum syariah perbuatan (amaliyah) yang ditetapkan berdasarkan dalil spesifik. Atau fiqh adalah hukum itu sendiri.

Penjelasan:
Ahkam yang merupakan bentuk plural dari hukm mempunyai arti “menetapkan sesuatu”, baik dalam bentuk kalimat negatif maupun positif. Contoh: “matahari terbit” atau “matahari tidak terbit” dan “air itu panas” atau “air itu tidak panas”.

Akan tetapi yang dimaksud dengan ahkam dalam ilmu ushul fiqh adalah: ketetapan yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni wujub (wajib), nadb (sunnah), hurumah (haram), karahah (makruh), ibahah (mubah), shihhah (sah), fasad (rusak) atau buthlan (batal).

Tidak harus mencakup semua hukum syariah untuk bisa disebut fiqh, tetapi cukup sebagiannya saja. Orang yang mengetahui fiqh disebut dengan faqih, selama dia memiliki kemampuan untuk melakukan istinbath.

Daftar Pustaka :
  1. Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
  2. Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Dina Utama, 1994.
  3. Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
  4. Yahya, Mukhtar, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung : al-Ma’arif, 1986.
  5. Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 554