Recent Posts

settia

Kilas Balik: Genderang Perang di Syria (2011)

Ternyata tulisan tahun 2011, tentang keterlibatan Barat dan Israel dalam konflik Suriah,  tulisan ini dbuat bersama M. Arief Pranoto (research Associate di Global Future Institute). Tahun 2011, media mainstream masih menutup-nutupi banyak fakta. Info didapat dari jurnalis-jurnalis independen, antara lain kontributor Global Research (Canada). Kini, setelah dua tahun berlalu, apa yang ditulis itu menjadi terungkap dengan sangat jelas: AS memang sangat berambisi menggulingkan Assad, demi membela Israel.

Tulisan berikut dimuat di IRIB Indonesia pada 22 Desember 2011.



Genderang Perang di Syria: Konspirasi dari Jordan dan Turki

Dina Y. Sulaeman dan M. Arief Pranoto

Some of the US forces that left the Ain al-Assad Air base in Iraq last Thursday, did not come back to the USA or its base in Germany, but were transferred to Jordan during the evening hours.”(Global Research, 12 Desember 2011).


Berita-berita dari luar media mainstream mulai menguak rencana negara-negara adidaya untuk menggulingkan Bashir Al Assad, Presiden Syria. Tentara AS yang konon sudah ditarik pulang, ternyata justru dipindahkan ke Yordania. Tepatnya, ke Pangkalan Udara King Hussein di Al Mafraq. Laporan lain menyebutkan bahwa ratusan tentara yang berbicara dalam bahasa-bukan-Arab terlihat mondar-mandir di antara pangkalan al-Mafraq dan desa-desa di perbatasan Yordania-Syria. Menurut Global Research, disinyalir, tentara-tentara asing itu adalah serdadu NATO.


Al Mafraq adalah nama daerah perbatasan di Yordania. Jaraknya sekitar 10 kilometer dari Syria. Bagi Yordania, Al Mafraq boleh dibilang “wilayah konspirasi” karena konspirasi yang dijalin oleh Yordania, Inggris, dan Israel guna menggulingkan pemerintahan di Syria pada masa lalu memilih Al Mafraq sebagai pusat kegiatan. Tokoh perintis di Al Mafraq bernama Salim Hatoom, seorang mayor yang gagal melakukan kudeta terhadap Presiden Suriah Nureddin al-Atassi dan Salah Jadid dekade 1960-an. Pada September 1968, ia melarikan diri ke Yordania dan mendirikan kamp militer di Al Mafraq. Dari tempat ini pula, ia memulai ‘karir’ sebagai pemberontak terhadap pemerintah Syria.


Tampaknya kisah Hatoom, meskipun tak sukses, mengilhami Syrian Islamic Brotherhood dan sayap militernya, At-Taleeah ​​al-Islamiyyah al-Muqatilah  untuk melakukan perjuangan  -atau pemberontakan- terhadap Hafez Al Assad, Presiden Syria (1971- 2000). Mereka menggunakan pola-pola yang sama dengan Hatoom:  dilatih oleh militer Yordania dan intelijen Israel, lalu turun ke jalanan kota-kota di Syria untuk melakukan kekacauan, merusak fasilitas umum, bahkan kalau perlu melakukan pembunuhan terhadap orang-orang tidak bersalah. Tujuannya, tidak lain ialah menciptakan destabilisasi politik dalam negara. Tak heran bila aksi-aksi demo itu sampai berani menyerang markas militer dan bahkan menggunakan roket.




Agaknya, sejarah Syria kini tengah berulang. Sejak musim semi lalu, banyak serdadu Syria yang melarikan diri dan ditampung dalam di kamp militer di sebelah barat kota Salt, Yordania. Mereka kemudian diinvestigasi oleh intelijen militer Israel (AMAN), di bawah pengawasan intelijen Jordan. Tujuannya adalah untuk mengorek mencari informasi terkait kekuatan militer Syria pasca tahun 2006.


Selain itu, situs Al Watan Voice Yordania memberitakan bahwa pejabat negara-negara Barat telah meminta Raja Yordania untuk mengizinkan pembangunan stasiun mata-mata elektronok di dekat perbatasan Syria di utara Yordania, dengan tujuan untuk mencari akses terhadap militer Syria dan mengontak pejabat-pejabat tinggi Syria agar mereka mau melakukan kudeta terhadap Al Assad.


Sementara itu, dari Turki, modus serupa juga tengah terjadi. Press TV merilis laporan bahwa ada indikasi bahwa kekuatan oposisi Syria sedang menjalani latihan militer di kota Hakkari, Turki, di bawah panduan NATO dan tentara AS. Bahkan, menurut koran Miliyet, Turki, sejak Mei lalu, 15.000 tentara Syria telah desertir dan bergabung dengan Tentara Pembebasan Syria, yang dipimpin oleh kolonel pembelot Syria, Riad Al Assad. Riad Al Assad sejak beberapa waktu terakhir telah membelot dari militer Syria dan dikabarkan berada di pangkalan militer AS di Incirlik, Turki.


Press TV menulis, sejumlah pemberontak Syria mengakui adanya rencana yang disponsori pihak asing untuk melakukan operasi bersenjata dan membunuh rakyat sipil dan pasukan keamanan Syria, membuktikan bahwa perkembangan terakhir di negara itu adalah bagian dari upaya Barat untuk menggulingkan pemerintah saat ini dan menggantinya dengan rezim yang didukung AS.



Skenario yang amat mirip dengan Libya kini tengah berulang di Syria: AS dan NATO mengorganisir kaum pemberontak, memberi dana, dan memberikan pelatihan militer untuk kemudian mengadakan berbagai aksi kerusuhan dan pembunuhan di dalam Syria. Demonizing atau pembunuhan karakter terhadap Bashar Assad juga dilakukan dengan mengerahkan seluruh mesin propanda Barat. Assad dengan gencar diberitakan sebagai sosok kejam dan diktator, persis seperti Qaddafi.



Pertanyaannya sekarang, mengapa Syria?  Libya adalah negara dengan cadangan minyak terkaya di Afrika, sehingga masuk akal bila negara-negara Barat yang sudah kelimpungan akibat krisis ekonomi sedemikian bernafsu menguasai Libya. Tapi Syria, bukan negara kaya. Kesalahan Syria hanya satu: rezim Assad enggan berbaik-baik dengan Israel. Assad adalah satu-satunya pemimpin negara Arab yang hingga hari ini tetap teguh menolak berdamai dengan Israel, Assad bahkan membantu Hizbullah untuk melawan invasi Israel ke Lebanon selatan, bahkan Assad menyediakan perlindungan bagi aktivis-aktivis top Hamas. Bagi Israel, Assad adalah duri dalam daging. Lalu mengapa AS dan NATO sampai berkepentingan menghabiskan energi perang mereka demi Israel?



Menurut pakar Hubungan Internasional, John Mearsheimer dan Stephen Walt dalam makalah mereka, di sinilah letak kekuatan lobby Zionis. Kelompok-kelompok lobby Zionis sangat berhasil mengalihkan kebijakan politik AS menjauh dari kepentingan nasionalnya sendiri dan pada saat yang sama meyakinkan publik dan politisi AS bahwa  ada ‘kepentingan yang sama’ di antara AS dan Israel. Karena itu, gelombang penarikan pasukan AS dari Irak dan Afghanistan sangat mungkin merupakan taktik yang disebut Sun Tzu dalam art of war-nya, ‘mengecoh langit menyeberang lautan’. Seolah sedang menghentikan perang, namun sesungguhnya tengah memindahkan pasukan ke lokasi lain, bersiap untuk perang yang baru.


Namun, situasi tak semudah yang dibayangkan oleh AS. Ternyata, sanksi PBB untuk Syria gagal terbit karena dihadang oleh veto Cina dan Rusia. Merapatnya kapal perang Rusia memasuki laut Syria juga merupakan indikasi kuat bahwa Moskow siap melindungi sekutu dekatnya itu. Dari Iran, bendera pertempuran juga mulai berkibar.


Iran pun sudah berkali-kali melakukan aksi-aksi deterrence, bahkan termasuk latihan militer ‘penutupan Selat Hormuz’. Selat Hormuz adalah jalur distribusi minyak terpenting di dunia, dimana 40 persen minyak dunia didistribusikan melalui jalur ini. Tak heran bila anggota parlemen Iran Parviz Sorouri, berkata, “Iran akan membuat dunia tidak aman jika dunia menyerang Iran.” Hal ini senada dengan ancaman Assad, “Serangan terhadap Syria akan memicu konflik regional.” Bahkan Assad sudah sesumbar, jika Syria diserang, pihaknya akan membombardir Israel dengan berbagai senjata dan roket-roket yang telah ia persiapkan lama.



Apakah akhirnya AS dan NATO tetap nekad melancarkan perang ke Syria, lalu berlanjut ke Iran, masih menjadi tanda tanya. Namun, pendapat Andrew Gavin Marshall, peneliti dan kontributor pada Central for Research on Globalization,  menarik untuk disimak. Menurutnya, gejolak yang terjadi di Timur Tengah ini merupakan taktik politik rahasia untuk memperluas pengaruh NATO dan AS, serta menghadang Rusia dan China. Tujuan akhirnya adalah membentuk New World Order (Tatanan Dunia Baru), dimana segelintir penguasa elit akan memperbudak mayoritas masyarakat dunia. Ia bahkan mengisyaratkan bahwa revolusi yang kini berlangsung merupakan awal Perang Dunia III. Apa boleh buat, perkembangan politik memang unpredictable dan sering bersifat turbulent (tiba-tiba). Kita hanya bisa mencermati dan berharap pada bangkitnya gelombang kesadaran yang kuat di tengah masyarakat dunia, yang bisa melawan kekuatan-kekuatan arogan itu




Note:

Tulisan lanjutan dari M. Arief Pranoto (27 Des 2011) juga menarik dibaca sebagai kilas balik: Perang Sipil di Syria: Pancingan Perang Dunia III atau Holocaust?

Perang Sipil di Syria, Pancingan Perang Dunia III atau Holocaust?
Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Tampaknya genderang perang di Syria tetap ditabuh oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutu utamanya yakni Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Strategi yang diterapkan sekilas berbeda dengan pola “keroyokan” ala NATO terhadap Pemerintahan Gaddafi, tetapi jika dicermati secara dalam sesungguhnya tidak berbeda, bahkan persis sama. Perbedaan cuma dikulit belaka. Ya. Ketika saat ‘mengeroyok’ Libya, NATO sudah berbekal Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 1973 tentang Zona Larangan Terbang, sementara di Syria lain lagi.

Setidaknya pasca gagal terbitnya Resolusi PBB bagi Syria karena terjegal oleh veto Cina dan Rusia, maka ibarat “memakan bubur panas” ia memulai dari pinggir-pinggirnya. Disinilah letak kesamaan pola. Seperti halnya di Libya, sebelum terbit resolusi 1973 --- AS dan sekutu juga mengobarkan dulu pemberontakan atau perang sipil. Demikian pula di Syria, kegagalan gerakan massa melalui ‘musim semi Arab’ guna menerbitkan resolusi PBB, menjadikan perang sipil sebagai alternatif terakhir.

Sasaran antara yang ingin diraih ialah intervensi massiv militer Syria terhadap perang sipil. Setelah fase ini maka bisa ditebak, niscaya gelombang laporan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “komprador” lokal ingin ada intervensi internasional dan hadirnya pasukan asing di Syria melalui resolusi PBB. Itulah skenario yang dapat dibaca.

Tak boleh dielak, bahwa saat ini telah ada pengepungan berasal dari tiga negeri tetangga saling berbatas teritori dengan Syria. Misalnya, perbatasan Jordan-Syria via al Mafraq. Lalu Turki bersumber dari kota Hakkari (baca: Genderang Perang Syria: Konspirasi dari Jordan dan Turki, oleh Dina Y. Sulaeman dan M Arief Pranoto, di www.indonesian.irib.ir). Sedang dari Lebanon melalui daerah Ersal. Tak kurang Menteri Pertahanan Lebanon, Fayez Gessen mengkonfirmasi data terkait dengan keberadaan operasi penyelundupan senjata dan masuknya teroris al - Qaeda untuk Suriah, yang mengaku menjadi anggota oposisi Suriah, pada titik-titik perbatasan ilegal antara Suriah dan Lebanon, khususnya melalui daerah perbatasan ERSAL (SANA, 20/12/2011). Syria tengah dikepung!

Mencermati tahapan di atas, sepertinya AS dan sekutu ingin memaksakan grand design penaklukan dunia sebagaimana paparan Wesley Clark, mantan Komandan NATO lima tahun lalu (2005) di Pentagon, yang dimulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia, Sudan dan seterusnya.

Secara kuantitatif, roadmap penaklukan cuma tinggal dua langkah lagi, yakni Syria dan Iran; tetapi dari sisi kualitatif sejatinya mengalami banyak kegagalan. Fakta menyatakan, bahwa kekalahan-kekalahan militer AS dan sekutu jarang bahkan tak pernah diekspos. Para media mainstream senantiasa melakukan edit dan counter berita atas kegagalan superpower dan sekutunya. Sebagai contoh kekalahan di medan tempur Irak, Afghanistan, dan terakhir kemarin di Libya merupakan data riil. Kedok atau dalihnya mirip-mirip, yakni penarikan pasukan melalui skenario tayangan video kematian tokoh sentral. Untuk penarikan di Irak dan Afghanistan berdalih “kematian Osama”, sedang penarikan pasukan di Libya berdalih “kematian Gaddafi”, sementara di medan laga perlawanan rakyat lokal dan tentara (setempat) masih berlangsung sengit, massiv lagi dahsyat.

Kembali ke Syria, perang sipil  yang kini meletus di Baba, kota terbesar ketiga di Syria, sejatinya merupakan pancingan agar militer Bashar al Assad turut campur tangan lebih dalam. Selanjutnya jika merujuk isyarat Andrew Gavin Marshal, peneliti serta kontributor di Central for Research on Globalization (CRG), Kanada, bahwa gejolak yang terjadi kini merupakan taktik politik rahasia untuk memperluas pengaruh NATO dan AS ke perbatasan Rusia dan Cina.

Hal ini sesuai salah satu strategi dan tujuan membentuk New World Order (Tatanan Dunia Baru), dengan membatasi gerak Cina dan Rusia serta mencegah munculnya tantangan apapun bagi kekuasaan AS di kawasan itu. Marshall menyebutnya sebagai “Revolusi Warna”. Ia mengisyaratkan bahwa revolusi yang kini berlangsung merupakan awal Perang Dunia (PD) III.  Pertanyaanya ialah, apakah AS dan sekutu menginginkan meletus PD III sebagaimana isyarat Marshall di atas?

Jika merujuk sinyalemen Hugo Chaves, Presiden Venezuela kepada PBB: "Ada ancaman yang sangat serius terhadap perdamaian dunia. Sebuah seri baru perang kolonial yang dimulai di Libya dengan tujuan jahat untuk memulihkan sistem kapitalisme global" (Lizzie Phelan, 2011), maka jawaban pertanyaan tadi adalah: YA! Pertanyaan berikut yang menyeruak, apa motivasi utama AS dan sekutu mengobarkan PD III di tengah krisis ekonomi dan bencana negeri yang tak kunjung usai; tidak gentarkah ia dengan Rusia, Cina, Iran dan negeri-negeri lain di belakang Syria?

Sesuai isyarat Chaves di atas bahwa perang kolonial seri baru bertujuan memulihkan sistem kapitalisme. Dan agaknya para elit kekuasaan Paman Sam ingin menjiplak model pemulihan Great Depression dekade 1930-an doeloe di AS melalui PD. Terbukti 10 tahun pasca PD II ekonomi AS memang kembali pulih. Dan meletusnya PD III bakal menaikkan oplah dan lapangan pekerjaan, terutama industri peralatan tempur, senjata, para kontraktor perang dan bidang-bidang lain di sekelilingnya. Ya, PD III bakal memulikan kembali sistem kapitalisme yang kini tengah sekarat lagi cenderung bangkrut.

Bagi AS dan sekutu, secara formal modal awal yang diperlukan dalam PD III adalah Resolusi PBB untuk Syria. Dan sepertinya ia tak bakal terbit selama veto Cina dan Rusia menghadang. Belum lagi permasalahan tuntutan kedua adidaya untuk penyelidikan secara mendalam soal kebenaran mengenai ada atau tidaknya pelanggaran HAM berat oleh rezim Gaddafi di Libya. Hal ini menjadi persoalan tersendiri bagi PBB.

Selanjutnya senada dengan ancaman Bashar al Assad, jika Syria diserang pihaknya akan membombardir Israel dengan berbagai senjata dan roket-roket yang ia persiapkan lama. Maka ada dua pilihan pasti, yakni PD III yang diinginkan AS dan sekutu guna memulihkan sistem kapitalis global, jangan-jangan justru Holocaust yang menyapu Israel. Manusia boleh saja berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Siapa menebar duka bakal memetik sengsara!

Genderang Perang di Syria: Konspirasi dari Jordan dan Turki

Dina Y. Sulaeman dan M. Arief Pranoto
"Some of the US forces that left the Ain al-Assad Air base in Iraq last Thursday, did not come back to the USA or its base in Germany, but were transferred to Jordan during the evening hours."(Global Research, 12 Desember 2011).

Berita-berita dari luar media mainstream mulai menguak rencana negara-negara adidaya untuk menggulingkan Bashir Al Assad, Presiden Syria. Tentara AS yang konon sudah ditarik pulang, ternyata justru dipindahkan ke Yordania. Tepatnya, ke Pangkalan Udara King Hussein di Al Mafraq. Laporan lain menyebutkan bahwa ratusan tentara yang berbicara dalam bahasa-bukan-Arab terlihat mondar-mandir di antara pangkalan al-Mafraq dan desa-desa di perbatasan Yordania-Syria. Menurut Global Research, disinyalir, tentara-tentara asing itu adalah serdadu NATO.

Al Mafraq adalah nama daerah perbatasan di Yordania. Jaraknya sekitar 10 kilometer dari Syria. Bagi Yordania, Al Mafraq boleh dibilang "wilayah konspirasi" karena konspirasi yang dijalin oleh Yordania, Inggris, dan Israel guna menggulingkan pemerintahan di Syria pada masa lalu memilih Al Mafraq sebagai pusat kegiatan. Tokoh perintis di Al Mafraq bernama Salim Hatoom, seorang mayor yang gagal melakukan kudeta terhadap Presiden Suriah Nureddin al-Atassi dan Salah Jadid dekade 1960-an. Pada September 1968, ia melarikan diri ke Yordania dan mendirikan kamp militer di Al Mafraq. Dari tempat ini pula, ia memulai ‘karir' sebagai pemberontak terhadap pemerintah Syria.

Tampaknya kisah Hatoom, meskipun tak sukses, mengilhami Syrian Islamic Brotherhood dan sayap militernya, At-Taleeah ​​al-Islamiyyah al-Muqatilah  untuk melakukan perjuangan  -atau pemberontakan- terhadap Hafez Al Assad, Presiden Syria (1971- 2000). Mereka menggunakan pola-pola yang sama dengan Hatoom:  dilatih oleh militer Yordania dan intelijen Israel, lalu turun ke jalanan kota-kota di Syria untuk melakukan kekacauan, merusak fasilitas umum, bahkan kalau perlu melakukan pembunuhan terhadap orang-orang tidak bersalah. Tujuannya, tidak lain ialah menciptakan destabilisasi politik dalam negara. Tak heran bila aksi-aksi demo itu sampai berani menyerang markas militer dan bahkan menggunakan roket.

Agaknya, sejarah Syria kini tengah berulang. Sejak musim semi lalu, banyak serdadu Syria yang melarikan diri dan ditampung dalam di kamp militer di sebelah barat kota Salt, Yordania. Mereka kemudian diinvestigasi oleh intelijen militer Israel (AMAN), di bawah pengawasan intelijen Jordan. Tujuannya adalah untuk mengorek mencari informasi terkait kekuatan militer Syria pasca tahun 2006.

Selain itu, situs Al Watan Voice Yordania memberitakan bahwa pejabat negara-negara Barat telah meminta Raja Yordania untuk mengizinkan pembangunan stasiun mata-mata elektronok di dekat perbatasan Syria di utara Yordania, dengan tujuan untuk mencari akses terhadap militer Syria dan mengontak pejabat-pejabat tinggi Syria agar mereka mau melakukan kudeta terhadap Al Assad.

Sementara itu, dari Turki, modus serupa juga tengah terjadi. Press TV merilis laporan bahwa ada indikasi bahwa kekuatan oposisi Syria sedang menjalani latihan militer di kota Hakkari, Turki, di bawah panduan NATO dan tentara AS. Bahkan, menurut koran Miliyet, Turki, sejak Mei lalu, 15.000 tentara Syria telah desertir dan bergabung dengan Tentara Pembebasan Syria, yang dipimpin oleh kolonel pembelot Syria, Riad Al Assad. Riad Al Assad sejak beberapa waktu terakhir telah membelot dari militer Syria dan dikabarkan berada di pangkalan militer AS di Incirlik, Turki.

Press TV menulis, sejumlahpemberontak Syria mengakui adanya rencana yang disponsori pihak asing untuk melakukan operasi bersenjata dan membunuh rakyat sipil dan pasukan keamanan Syria, membuktikan bahwa perkembangan terakhir di negara itu adalah bagian dari upaya Barat untuk menggulingkan pemerintah saat ini dan menggantinya dengan rezim yang didukung AS.

Skenario yang amat mirip dengan Libya kini tengah berulang di Syria: AS dan NATO mengorganisir kaum pemberontak, memberi dana, dan memberikan pelatihan militer untuk kemudian mengadakan berbagai aksi kerusuhan dan pembunuhan di dalam Syria. Demonizing atau pembunuhan karakter terhadap Bashar Assad juga dilakukan dengan mengerahkan seluruh mesin propanda Barat. Assad dengan gencar diberitakan sebagai sosok kejam dan diktator, persis seperti Qaddafi.

Pertanyaannya sekarang, mengapa Syria?  Libya adalah negara dengan cadangan minyak terkaya di Afrika, sehingga masuk akal bila negara-negara Barat yang sudah kelimpungan akibat krisis ekonomi sedemikian bernafsu menguasai Libya. Tapi Syria, bukan negara kaya. Kesalahan Syria hanya satu: rezim Assad enggan berbaik-baik dengan Israel. Assad adalah satu-satunya pemimpin negara Arab yang hingga hari ini tetap teguh menolak berdamai dengan Israel, Assad bahkan membantu Hizbullah untuk melawan invasi Israel ke Lebanon selatan, bahkan Assad menyediakan perlindungan bagi aktivis-aktivis top Hamas. Bagi Israel, Assad adalah duri dalam daging. Lalu mengapa AS dan NATO sampai berkepentingan menghabiskan energi perang mereka demi Israel?

Menurut pakar Hubungan Internasional, John Mearsheimer dan Stephen Walt dalam makalah mereka, di sinilah letak kekuatan lobby Zionis. Kelompok-kelompok lobby Zionis sangat berhasil mengalihkan kebijakan politik AS menjauh dari kepentingan nasionalnya sendiri dan pada saat yang sama meyakinkan publik dan politisi AS bahwa  ada ‘kepentingan yang sama' di antara AS dan Israel. Karena itu, gelombang penarikan pasukan AS dari Irak dan Afghanistan sangat mungkin merupakan taktik yang disebut Sun Tzu dalam art of war-nya, ‘mengecoh langit menyeberang lautan'. Seolah sedang menghentikan perang, namun sesungguhnya tengah memindahkan pasukan ke lokasi lain, bersiap untuk perang yang baru.

Namun, situasi tak semudah yang dibayangkan oleh AS. Ternyata, sanksi PBB untuk Syria gagal terbit karena dihadang oleh veto Cina dan Rusia. Merapatnya kapal perang Rusia memasuki laut Syria juga merupakan indikasi kuat bahwa Moskow siap melindungi sekutu dekatnya itu. Dari Iran, bendera pertempuran juga mulai berkibar. 

Iran pun sudah berkali-kali melakukan aksi-aksi deterrence, bahkan termasuk latihan militer ‘penutupan Selat Hormuz'. Selat Hormuz adalah jalur distribusi minyak terpenting di dunia, dimana 40 persen minyak dunia didistribusikan melalui jalur ini. Tak heran bila anggota parlemen Iran Parviz Sorouri, berkata, "Iran akan membuat dunia tidak aman jika dunia menyerang Iran." Hal ini senada dengan ancaman Assad, "Serangan terhadap Syria akan memicu konflik regional." Bahkan Assad sudah sesumbar, jika Syria diserang, pihaknya akan membombardir Israel dengan berbagai senjata dan roket-roket yang telah ia persiapkan lama.

Apakah akhirnya AS dan NATO tetap nekad melancarkan perang ke Syria, lalu berlanjut ke Iran, masih menjadi tanda tanya. Namun, pendapat Andrew Gavin Marshall, peneliti dan kontributor pada Central for Research on Globalization,  menarik untuk disimak. Menurutnya, gejolak yang terjadi di Timur Tengah ini merupakan taktik politik rahasia untuk memperluas pengaruh NATO dan AS, serta menghadang Rusia dan China. Tujuan akhirnya adalah membentuk New World Order (Tatanan Dunia Baru), dimana segelintir penguasa elit akan memperbudak mayoritas masyarakat dunia. Ia bahkan mengisyaratkan bahwa revolusi yang kini berlangsung merupakan awal Perang Dunia III. Apaboleh buat, perkembangan politik memang unpredictable dan sering bersifat turbulent (tiba-tiba). Kita hanya bisa mencermati dan berharap pada bangkitnya gelombang kesadaran yang kuat di tengah masyarakat dunia, yang bisa melawan kekuatan-kekuatan arogan itu.

(dari berbagai SUMBER)