Recent Posts

settia

Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis


Oleh : Satrio Arismunandar, Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia Desember 2008.

I.  Pengantar

Plato (428 – 7 SM) adalah salah satu filsuf Yunani yang terkemuka. Murid dari Socrates dan guru dari Aristoteles ini diakui karena karya pemikirannya, yang sangat berpengaruh pada tradisi pemikiran filsafat Barat. Bahkan, sampai hampir 2.500 tahun sejak zaman Plato hidup, pemikiran Plato yang sangat luas dan mencakup berbagai bidang, masih menjadi bahan kajian.

Meskipun pemikiran kontemporer sekarang sudah sangat berkembang, dan sejumlah pemikiran Plato terkesan sudah ketinggalan zaman, beberapa isu yang diangkat Plato masih dirasakan relevan dengan konteks zaman sekarang, termasuk bagi kita yang tinggal di Indonesia.

Pemikiran Plato, bersama Socrates, Aristoteles, dan beberapa filsuf Yunani kuno lain telah menjadi humus atau benih-benih awal, yang di atasnya tumbuh berbagai pemikiran baru, yang mewarnai berbagai pemikiran umat manusia sesudahnya.   Salah satu karya monumental Plato adalah The Republic, yang dalam bahasa Yunani artinya ―sistem politik.‖ Karya ini ditulis kira-kira pada 380 SM, dan dipandang sebagai salah satu karya filsafat dan teori politik yang paling berpengaruh. Ini juga merupakan karya Plato yang paling terkenal.

Plato menghasilkan sejumlah karya, yang berkaitan dengan filsafat politik, seperti Republic, Statesman, dan Laws. Namun, Republic adalah pusat dari filsafat politik Plato. Karena, karya-karya Plato yang lain --seperti Apology, Charmides, Crito, Euthydemus, Gorgias, Protagoras, dan Menexenus—bisa dipahami dengan melihat hubungannya pada teks utama di Republic. Makalah ini mencoba mengangkat sejumlah pemikiran Plato di bidang politik. Untuk menyederhanakan dan memudahkan pembahasan, pemikiran Plato yang diulas di sini dibatasi pada topik-topik tertentu. Pemikiran Plato itu akan dianalisis dengan membandingkannya pada pemikiran tokoh-tokoh lain, serta coba ditempatkan dalam konteks masa kini.
  
Dalam membahas pemikiran Plato, penulis menggunakan pendekatan filsafat politik. Filsafat politk pada hakikatnya menuntut agar segala klaim (legitimate authority) atas hak untuk menata masyaraksat (yang dimiliki oleh Pemerintah Negara) dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal dan hati kemanusiaan.

Pertanggungjawaban publik (accountability) mrerupakan perwujudan dari tanggung jawab rasional atas kekuasaan. Legitimasi politik di sini tidak selalu sama dengan legitimasi moral (etisfilosofis).

Legitimasi politik dapat dipahami sebagai legitimasi sosial (sosiologis) yang telah mengalami proses artikulatif dalam institusi-institusi politik yang representatif. Sedangkan legitimasi moral (etis) mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-normal moral, bukan dari segi kekuatan politik riil
yang ada, dan bukan pula atas dasar ketentuan hukum (legalitas) tertentu.

II. Riwayat Singkat Plato

Plato lahir di Athena pada 428 SM. Sampai Plato mencapai usia pertengahan 20-an, Athena terlibat dalam perang dan konflik militer yang panjang melawan Sparta, yang dikenal dengan Perang Peloponnesia.
  
Plato berasal dari kalangan keluarga terpandang. Ayahnya adalah keturunan Codrus, salah satu dari raja-raja pertama Athena. Sedangkan ibunya adalah keturunan Solon, tokoh terkemuka yang mereformasi konstitusi Athena. Jadi, Plato secara alamiah diposisikan untuk berperan aktif dalam kehidupan politik. Namun, sayangnya hal ini tak pernah terjadi.

Walaupun berharap bisa memainkan peran signifikan dalam komunitas politiknya, Plato terus-menerus merasa tersisihkan. Sebagaimana diungkapkan dalam otobiografinya Seventh Letter, Plato tidak dapat mengidentifikasikan dirinya dengan partai politik mana pun yang ada saat itu atau dengan rezim-rezim korup yang terus berganti. Setiap rezim itu membuat kedudukan Athena semakin merosot.

Plato adalah murid Socrates, yang dipandang Plato sebagai orang paling adil dan bermoral di masanya. Socrates adalah juga orang yang paling banyak memberi pengaruh pada Plato dalam pemikiran filsafat.

III.  Karya Plato, Republic

Karya Plato, Republic, secara umum terbagi jadi tiga bagian. Bagian pertama (Buku I sampai hampir ke akhir Buku V) berisi tentang pembentukan sebuah komunitas persemakmuran yang ideal. Ini adalah bagian yang paling awal dari Utopia. Salah satu kesimpulannya adalah penguasa ideal haruslah seorang filsuf.

Karena filsuf dipandang sebagai figur yang paling ideal untuk jadi penguasa, Buku VI dan VII berkaitan dengan definisi kata ―filsuf‖ itu sendiri. Diskusi ini merupakan bagian yang kedua. Sedangkan bagian ketiga terutama berisi diskusi tentang berbagai macam bentuk pemerintahan praktis, dengan berbagai kelebihan dan
kekurangannya. 

Tujuan nominal Republic adalah untuk merumuskan ―keadilan.‖ Namun, pada tahapan awal, diputuskan bahwa –karena lebih mudah melihat hal yang besar ketimbang hal kecil-- adalah lebih baik untuk menyelidiki apa yang membuat sebuah Negara bisa adil, ketimbang apa yang membuat seorang individu bisa adil.  

Karena keadilan harus menjadi salah satu atribut bagi Negara terbaik yang bisa dibayangkan, atribut-atribut Negara semacam itu pertama-tama harus dipaparkan. Kemudian harus diputuskan, yang mana dari sekian ciri kesempurnaannya itu yang disebut keadilan.

3.1.Tiga Kelas Warganegara

Plato memulai dengan menetapkan bahwa warganegara dibagi dalam tiga kelas: rakyat biasa, prajurit, dan wali (guardian). Hanya wali yang memiliki kekuasaan politik. Jumlah wali ini amat sedikit, jika dibandingkan dua kelas lainnya. Untuk yang pertama, tampaknya mereka dipimpin oleh para pembuat undang-undang
(legislator).

Sesudah itu, biasanya mereka akan digantikan berdasarkan keturunan darah (heredity). Namun, dalam kasus-kasus perkecualian, seorang anak yang menjanjikan mungkin saja dipromosikan dari salah satu kelas bawah. Sebaliknya, di antara anakanak wali, mungkin saja ada satu dua anak yang tidak memuaskan, sehingga diturunkan. 

Problem utama sistem ini adalah bagaimana memastikan bahwa para wali akan benar-benar melaksanakan maksud-maksud para legislator. Untuk tujuan ini, ia memiliki berbagai proposal, pendidikan, ekonomi, biologis, dan religius. Tidak begitu jelas seberapa jauh proposal-proposal ini diberlakukan ke kelas-kelas lain selain wali. 

Jelas bahwa sebagian dari proposal itu berlaku bagi para prajurit. Namun, secara umum Plato hanya memperhatikan kaum wali, yang harus menjadi kelas terpisah, seperti kaum Jesuit di Paraguay kuno, kaum eklesiastik di Negara Gereja sampai 1870, dan Partai Komunis di Uni Soviet.

Plato mengasumsikan kaum wali ini adalah para filsuf, orang-orang yang arif bijaksana, yang tidak mementingkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, mereka bukan saja layak diistimewakan, tetapi memang sudah seharusnya demikian demi kebaikan seluruh masyarakat.

3.2. Format Pendidikan

Dalam kaitan pembentukan dan keberlangsungan kaum wali tersebut, hal pertama yang dipertimbangkan Plato adalah pendidikan. Pendidikan ini dibagi dalam dua bagian: gimnastik dan musik. Gimnastik dan musik di sini memiliki arti yang lebih luas dari pengertian zaman sekarang. 

'Musik' berarti segala sesuatu yang berada di bawah asuhan muses, dan 'gimnastik' berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan pelatihan dan kebugaran fisik. 'Musik' hampir sama luasnya dengan yang sekarang kita sebut 'budaya', sedangkan 'gimnastik' lebih luas dari yang sekarang kita sebut sebagai 'atletik'. Budaya harus didedikasikan untuk membentuk orang menjadi gentlemen, dalam arti yang mirip dengan di England (Inggris).

Orang Athena pada zamannya, dalam arti tertentu, mirip dengan England pada abad ke-19. Di masing-masing tempat itu terdapat aristokrasi (kaum bangsawan) yang menikmati kemakmuran dan gengsi sosial, namun tidak memiliki monopoli terhadap kekuasaan politik. 

Masing-masing aristokrasi itu harus meraih kekuasaan sebanyak mungkin dengan cara menunjukkan perilaku yang mengesankan. Dalam Utopia Plato, kaum aristokrat ini berkuasa tanpa kontrol pengimbang. 

Martabat, kepatutan, dan keberanian tampaknya adalah kualitas-kualitas yang coba ditumbuhkan lewat pendidikan. Pelatihan tubuh untuk siswa harus sangat keras. Tak seorang pun boleh makan ikan atau daging, yang dimasak selain dengan dipanggang. Juga, tidak ada saus atau makanan kecil tambahan. Dengan demikian, orang yang dibesarkan di resimennya tak akan memerlukan dokter, kata Plato.

Sampai usia tertentu, kaum muda tidak boleh melihat hal-hal yang buruk. Namun, pada saat yang tepat, mereka harus diekspos terhadap 'pikatan', baik dalam bentuk teror yang tidak boleh membuat mereka gentar, dan kenikmatan buruk yangtidak boleh menggoda kemauan mereka. Jika mereka sanggup menahan ujian ini,
barulah mereka dinilai pantas menjadi wali-wali. Pemuda, sebelum mereka tumbuh
dewasa, harus pernah melihat perang, walau tidak harus ikut berperang.

3.3. Pembatasan Seni dan Drama

Ada sensor ketat sejak tahun-tahun pertumbuhan paling dini, tentang bacaan yang boleh diakses, dan tentang musik yang  boleh didengar oleh kaum muda.  Para ibu dan perawat hanya boleh menceritakan kisah-kisah tertentu pada anak-anak mereka.

Kisah Homer dan Hesiod tidak diizinkan, karena alasan tertentu. Pertama, cerita itu menampilkan kisah dewa-dewa yang terkadang berperilaku buruk, yang tidak mendidik. Orang muda diajar bahwa kejahatan tidak pernah datang dari dewadewa, karena dewa hanya menciptakan hal-hal yang baik.

Kedua, ada hal-hal di dalam Homer dan Hesiod yang diduga akan membuat para pembaca takut pada kematian, padahal segala sesuatu diberikan lewat pendidikan untuk kaum muda, agar bersedia mati di medan perang. Ketiga, kepantasan menuntut orang tidak boleh tertawa keras. Padahal Homer termasuk yang suka banyak tertawa di antara para dewa lainnya.  

Keempat, ada kalimat-kalimat di Homer yang memuji pesta makan yang berlebihan, dan yang lain menggambarkan hasrat berahi dewa-dewa. Kalimat itu mengecilkan sikap menahan diri. Juga tidak boleh ada cerita di mana pihak yang jahat berbahagia, sedangkan yang baik malah tidak bahagia. Dampak moralnya terhadap pikiran-pikiran kaum muda yang lembut, dianggap mungkin tidak menguntungkan.

Plato membuat pernyataan yang menarik tentang pertunjukan drama. Orang baik, katanya, harus menolak meniru orang buruk. Saat itu sebagian besar drama berisi peran-peran jahat. Karena itu, dramawan dan aktor yang memainkan peranperan jahat harus meniru orang yang bersalah karena melakukan berbagai kejahatan.

Bukan hanya peran kriminal. Laki-laki yang unggul juga tidak boleh meniru perempuan, budak, dan kalangan bawah umumnya. Karena itu, jika drama diizinkan sepenuhnya, ia tidak boleh memainkan  karakter apapun kecuali tokoh pahlawan lakilaki yang tak pernah salah, dan lahir dari keturunan yang baik. Ketidakmungkinan hal ini begitu terbukti, sehingga Plato memutuskan melarang semua pemain drama dari
kota idealnya.

Soal sensor terhadap musik (dalam pengertian modern) juga diberlakukan. Harmoni atau musik Lydia dan Ionia dilarang, karena mengekspresikan kesedihan, dan karena menimbulkan kesantaian. Hanya musik Doria (mengekspresikan keberanian) dan Phrygia (menyerukan sikap menahan diri) yang diizinkan. Jenis musik yang diizinkan harus sederhana, atau yang mengekspresikan keberanian dan kehidupan yang harmonis.

3.4. Ekonomi dan “Komunisme”

Sedangkan untuk bidang ekonomi, Plato mengusulkan penerapan komunisme yang menyeluruh bagi para wali. Mereka hanya boleh memiliki rumah rumah kecil dan makanan sederhana. Mereka harus hidup di dalam kemah atau tempat tinggal sementara, makan bersama-sama, dan tak boleh memiliki harta milik pribadi melebihi kebutuhan yang betul-betul tak bisa ditinggalkan. 

Emas dan perak dinyatakan terlarang. Walaupun tidak kaya, tak ada alasan mengapa mereka tak bisa berbahagia. Namun tujuan kota ideal Plato ini adalah kebaikan bagi semua orang, bukan kebahagiaan satu kelas saja. Baik kemakmuran ataupun kemiskinan sama-sama merusak, dan di dalam kota Plato tak ada satu pun dari dua hal itu yang boleh ada. 

Komunisme ini kemudian diterapkan ke keluarga. Teman-teman harus memiliki segala sesuatu bersama-sama, termasuk perempuan dan anak-anak. Hal ini diakui Plato memang akan menimbulkan kesulitan, namun bukannya tak bisa diatasi. 

Pertama, para gadis harus mendapat pendidikan yang persis sama seperti pemuda, termasuk belajar musik, gimnastik, dan seni peang bersama pemuda. Kaum perempuan harus memiliki kesamaan sepenuhnya dengan laki-laki dalam segala hal.

Pendidikan yang sama, yang membuat pria jadi wali yang baik, juga akan membuat perempuan jadi wali yang baik; karena hakikat asal mereka adalah sama, kata Plato. Tentu saja ada perbedaan antara pria dan wanita, namun perbedaan itu tak ada kaitannya dengan politik.  Beberapa perempuan bersifat filosofis, dan cocok menjadi wali. Beberapa lainnya suka perang, dan bisa jadi prajurit yang baik.

Legislator, sesudah memilih wali-wali yang terdiri dari beberapa pria dan wanita, akan mentahbiskan bahwa mereka akan berbagi rumah dan makanan bersama. Lembaga perkawinan, sebagaimana yang kita kenal sekarang, diubah secara radikal oleh Plato. Para perempuan ini, tanpa perkecualian, akan menjadi istri bersama para pria, dan tak seorang pun yang boleh memiliki istri untuk dirinya sendiri.

Pada festival-festival tertentu, mempelai pria dan mempelai wanita, dalam jumlah tertentu yang ditetapkan untuk menjaga populasi tetap konstan, akan dipasangpasangkan lewat undian. Namun, sebenarnya para penguasa kota akan memanipulasi undian itu atas prinsip ilmu untuk memperbaiki keturunan. Mereka
akan mengatur agar ayah terbaik  akan memiliki banyak anak. 

Semua anak itu akan dipisahkan dari orangtuanya sejak lahir, dan akan diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar orangtua tidak tahu yang mana anak mereka sebenarnya, dan juga tak ada anak yang tahu siapa orang tuanya sebenarnya. Anak yang cacat, dan anak-anak dari orangtua yang inferior, akan dibawa pergi ke tempat sepi yang misterius, sebagaimana sepatutnya. Anak-anak yang tidak dibesarkan dari kumpulan yang dilakukan Negara dianggap tidak sah. Para ibu akan berumur antara 20 sampai 40 tahun, sedangkan para ayah antara 25 dan 55 tahun. Di luar umur ini, hubungan seks dibebaskan, namun tak boleh melahirkan anak (aborsi atau pembunuhan bayi adalah kewajiban). Dalam perkawinan yang diatur Negara, orang tidak punya suara. Mereka harus digerakkan oleh pikiran tentang kewajiban kepada Negara, tidak oleh emosi umum yang biasa dirayakan oleh para penyair.

Karena tak seorangpun tahu siapa orangtuanya, dia harus memanggil setiap orang yang umurnya kira-kira setara umur ayahnya dengan sebutan ayah. Hal semacam itu juga diterapkan untuk ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuan. Tak boleh ada perkawinan antara ayah dan anak perempuan atau antara ibu dan anak laki-laki. Secara umum, namun tidak mutlak, perkawinan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan juga dicegah.

Sentimen yang terkait dengan sebutan ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan dianggap akan tetap melekat pada nmereka di bawah pengaturan baru Plato. Seorang pemuda, misalnya, tidak akan memukul orang tua, karena dia mungkin akan memukul ayahnya sendiri.

Keuntungan yang dicari dari pengaturan ini adalah meminimalisir emosi posesif perseorangan, dan dengan begitu menghilangkan hambatan ke arah dominasi semangat publik (kepentingan umum). Juga, untuk memudahkan memperoleh kesepakatan, karena tidak-adanya kepemilikan pribadi.

3.5. Kebohongan, Mitos, dan Hak Prerogatif Pemerintah

Ada beberapa mitos yang diajarkan Plato. Berbohong, misalnya, dianggap Plato sebagai hak prerogatif pemerintah, sebagaimana hak memberi obat bagi para dokter. Pemeritah boleh mengecoh orang, dengan pura-pura mengatur pernikahan lewat undian. Namun, ini bukan soal religius. 

Ada jenis ―kebohongan terhormat‖ yang --Plato berharap-- mungkin bisa mengecoh penguasa, namun pastinya kebohongan ini akan mengecoh warga kota lain. Bagian terpenting dari ini adalah dogma bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam tiga jenis: manusia yang terbaik dibuat dari emas, yang kedua terbaik dari perak, dan yang biasa terbuat dari kuningan dan besi.

Mereka yang terbuat dari emas pantas jadi wali; yang terbuat dari perak harus jadi prajurit; dan yang lain harus melakukan pekerjaan kasar.  Biasanya, anak-anak akan dimasukkan ke golongan yang sama seperti orangtuanya. Jika ternyata tidak demikian, mereka harus dipromosikan atau diturunkan sesuai kadar kapasitas dirinya. 

Plato beranggapan, meski awalnya sulit membuat generasi awal untuk percaya pada mitos-mitos itu, namun generasi-generasi berikutnya akan begitu terdidiksehingga tidak akan meragukannya. Yang tampaknya tak disadari Plato waktu itu adalah mengajarkan mitos-mitos semacam itu tidak cocok dengan filsafat, dan
melibatkan pendidikan yang menghambat kecerdasan.

3.6. “Keadilan” Menurut Plato

Definisi ―keadilan‖, yang merupakan tujuan nominal dari seluruh diskusi, tercapai di buku IV. Keadilan itu terwujud ketika setiap orang melakukan pekerjaannya dan tidak mencampuri urusan orang lain.  Kota ini adil ketika pedagang, pembantu/pendukung, dan wali, masing-masing menjalankan tugasnya sendiri tanpa mencampuri urusan warga dari kelas lain. 

Pengertian kata keadilan dalam bahasa Yunani di buku Plato punya arti yang berbeda, dan tak ada padanannya untuk terjemahan yang pas. Untuk memahaminya, kita perlu melihat ke teori atau pandangan orang Yunani kuno tentang alam semesta, yang mungkin bisa kita sebut bersifat religius atau etis. 

Menurut teori ini, setiap orang dan segala sesuatu memiliki tempat dan peran tersendiri yang ditetapkan untuknya. Kondisi ini tidak tergantung pada persetujuanZeus (dewa tertinggi), karena Zeus sendiri juga terikat pada aturan hukum alam yang sama.  Teori ini berkaitan dengan ide tentang takdir atau ketundukan pada kenyataan. Hukum ini juga berlaku untuk benda-benda ruang angkasa.  '

Namun, di mana ada tenaga, di sana ada kecenderungan untuk melanggar batasan itu; maka muncullah percekcokan. Semacam hukum super-Olympia impersonal yang menghukum kepongahan, dan memulihkan tatanan abadi yang coba dilanggar oleh pihak agresor. Cara pandang keseluruhan ini mungkin tanpa sadar menyusup ke filsafat. Cara pandang ini adalah sumber kepercayaan dalam hukum alam dan hukum manusia, dan ini jelas menggarisbawahi konsep Plato tentang keadilan.

Kata ―keadilan,‖ sebagaimana yang tetap digunakan di dalam hukum, lebih pas dengan konsep Plato ketimbang yang digunakan dalam spekulasi politik. Di bawah pengaruh teori demokratis, kita telah mengasosiasikan keadilan dengan persamaan (equality), sedangkan bagi Plato keadilan tidak memiliki implikasi semacam itu.

Keadilan dalam pengertian di mana ia hampir sinonim dengan hukum ketika kita bicara tentang mahkamah pengadilan memperhatikan terutama hak-hak kepemilikan, yang tak ada hubungannya dengan persamaan. Hal pertama yang dikaitkan dengan ―keadilan‖ pada permulaan Republic terdiri dari soal membayar utang. Definisi ini segera ditinggalkan karena tidak memadai, namun masih tersisa sebagian.

IV. Pembahasan tentang Pemikiran Politik Plato

4.1. Pemerintahan Para Filsuf

Dari sebagian besar karya Plato, terlihat bahwa pemikiran politik Plato sangat jauh dari asumsi-asumsi yang dianggap sentral bagi tradisi pemikiran liberal dan demokratis. Padahal tradisi liberal dan demokratis ini sendiri justru yang sekarang mendominasi filsafat politik.

Plato jelas mengeritik kesetaraan demokratis dan kebebasan dalam Republic Buku VIII. Kritik serupa terlihat di Buku VI, dalam analogi antara kewarganegaraan dan keterampilan kelautan, sebuah tema yang dielaborasi lewat investigasi keterampilan politik di Statesman.

Orang harus berusaha dengan susah payah, untuk menemukan sikap ramah Plato terhadap hal-hal seperti kesetaraan umat manusia, kebebasan kesadaran, hak partisipasi dalam politik, pemerintahan terbatas, saluran konstitusional, dan sebagainya. Ide-ide utama Plato adalah: pemerintahan oleh filsuf, penghapusan
institusi keluarga dan harta milik, dan kebohongan terhormat (noble lies). 

Dengan memberi perlakuan istimewa pada satu kelompok tertentu untuk berkuasa –yakni, kaum wali dan para filsuf—jelas pilihan Plato ini bertentangan dengan semangat kebebasan dan demokratis, yang menuntut kesetaraan bagi seluruh warganegara. 

Bolehnya pemerintah atau penguasa berbohong kepada rakyat, dengan menciptakan mitos-mitos palsu, dan menjejalkannya kepada generasi muda lewat indoktrinasi di lembaga-lembaga pendidikan, juga tidak bisa diterima dalam tradisi pemikiran demokratis. 

Di Amerika dan sejumlah negara Eropa, ada hak warganegara untuk memperoleh informasi yang benar. Pemberian informasi yang keliru secara sengaja kepada warganegara akan dipandang sebagai pelanggaran etika plitik, dan secara moral tak bisa diterima. Kasus Presiden George W. Bush, yang membohongi rakyat Amerika tentang adanya senjata pemusnah massal di Irak, sebagai dalih untuk invasi militer ke Irak, sampai saat ini terus nenuai kecaman pedas. 

Selain itu, institusi pendidikan yang sengaja difungsikan untuk mengajarkan kebohongan, bukan saja bertentangan dengan hak-hak demokratis warga, tetapi juga bertentangan dengan semangat ilmu filsafat untuk mencari kebenaran. 

Meski demikian, pemerintahan oleh para filsuf bukanlah sesuatu ide yang mustahil diwujudkan. Republik Plato, tidak seperti Utopia-Utopia modern, tampaknya dimaksudkan untuk betul-betul terwujud. Pada masa itu, mungkin impian Plato ini tidak sefantastis yang kita bayangkan, jika melihat contoh yang sudah dilakukan Sparta.  Kekuasaan oleh para filsuf telah diusahakan oleh Pythagoras. Di zaman Plato, Archytas yang menuruti ajaran Pythagoras juga secara politik berpengaruh di wilayah Taras, ketika Plato mengunjungi Sicily dan Italia selatan. 

Adalah praktik umum bagi kota-kota waktu itu untuk mempekerjakan seorang bijak (filsuf) untuk merancang undang-undang mereka. Solon telah melakukan hal ini untuk orang Athena, dan Protagoras untuk Thurii. Koloni-koloni pada masa itu sepenuhnya bebas dari kendali kota-kota induknya, dan kondisi itu akan cukup memungkinkan bagi sekelompok penganut ajaran Plato untuk mendirikan Republik (dengan pemerintahan para filsuf) di pesisir Spanyol atau Gaul. 

Sayangnya, Plato kebetulan justru pergi ke Syracuse, sebuah kota perdagangan  yang terlibat dalam perang berkepanjangan dengan Carthage. Dalam atmosfir semacam itu, tak seorang filsuf pun yang bisa mencapai banyak hal. Pada generasi berikutnya, bangkitnya Macedonia membuat semua negara kecil jadi usang, dan
menyebabkan kerapuhan pada setiap eksperimen politik dalam versi miniatur.

Patut dicatat, pemikiran politik Plato sendiri sebenarnya juga mengalami pergeseran. Dalam karyanya Laws, misalnya, Plato kemudian bersikap lebih ramah pada demokrasi, karena ia mengadopsi metafisika tentang nilai, yang mengakui sumber-sumber epistemologis dari kalangan non-filsuf.

4.2. Masyarakat “Komunisme” yang Sama-Rata dan Sama-Rasa

Gagasan Plato tentang masyarakat persemakmuran, yang hidup bersama, dengan pembatasan hak milik dan penghapusan institusi keluarga, dalam batas-batas tertentu sudah dicoba diterapkan di negara-negara komunis, seperti Uni Soviet dan negara-negara di Eropa Timur. Eksperimen itu sudah gagal, dengan runtuhnya komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur.

Murid Plato, Aristoteles, juga pernah mengeritik pemikiran Plato ini. Aristoteles mengatakan, tujuan Plato –di mana seluruh warganegara bisa merasakan semua rasa senang dan sedih bersama— itu tak akan bisa diwujudkan.   

Namun, gagasan Plato tentang komunitas masyarakat yang sama rata dan sama rasa itu juga bisa kita pahami sebagai usahanya menciptakan harmoni. Cara Plato untuk menciptakan harmoni adalah dengan menyingkirkan elemen-elemen demokrasi atau kebebasan perseorangan yang berpotensi merusak.

Plato mencoba menunjukkan kelemahan ide demokrasi, dengan cara menempatkan demokrasi itu ke wujud ekstrem. Kebebasan demokratis, jika diperlakukan seperti itu, akan mendorong etos serba permisif, yang pada dasarnya bersifat anarkis. Jadi Plato mau mengatakan bahwa demokrasi secara inheren menjurus ke pluralitas jalan hidup yang korosif. Dampak semacam inilah yang mau dihindari Plato, dengan membentuk masyarakat yang sama rata dan sama rasa tersebut.

Gagasan Plato ini tidak lantas mati atau kehilangan relevansi begitu saja. Krisis ekonomi dahsyat yang melanda ekonomi Amerika dan bagian dunia lain, termasuk Indonesia, di penghujung 2008 ini dipandang berawal dari sifat rakus dan tamak, yang inheren dalam nilai-nilai kapitalisme dan kebebasan yang tak terkontrol. 

Oleh karena itu, gagasan Karl Marx, sosialisme, dan pembatasan kebebasan mulai muncul lagi, dan kembali dibicarakan dalam perspektif baru akhir-akhir ini. Dalam iklim semacam ini, pemikiran Plato tentang masyarakat sama rata dan sama rasa itu mendapat angin sebagai sebuah alternatif, meski tidak harus diwujudkan dalam bentuknya yang ekstrem seperti di zaman Plato.

4.5. Problem tentang “Keadilan” versi Plato

Ada beberapa butir yang patut dicatat tentang definisi Plato mengenai keadilan. Pertama, ada kemungkinan terjadi ketidaksetaraan antara kekuasaan dan pengistimewaan (perlakuan khusus) tanpa keadilan. Kaum wali memiliki semua kekuasaan, karena mereka adalah anggota komunitas yang dianggap paling bijaksana.  

Ketidakadilan hanya akan terjadi –menurut definisi Plato—jika ada orang dari kelas masyarakat lain yang lebih bijaksana dari beberapa kaum wali. Inilah sebabnya Plato menyediakan kemungkinan promosi dan degradasi warganegara, walaupun ia berpikir bahwa keunggulan ganda --karena faktor kelahiran dan pendidikan-- pada sebagian besar kasus akan membuat anak-anak dari keluarga wali lebih unggul dari
anak-anak lain.

Jika ada ilmu pemerintahan yang solid, dan lebih ada kepastian bahwa orang akan mematuhi resep ini, banyak yang harus dikomentari dari sistem Plato. Tak seorang pun berpikir bahwa itu sebuah ketidakadilan, jika kita menempatkan orang terbaik dalam sebuah tim sepakbola, walaupun orang itu memperoleh superioritas yang besar di sana. Sebaliknya, jika sepakbola dikelola secara demokratis seperti gaya pemerintahan Athena, siswa yang akan bermain mewakili universitasnya akan dipilih lewat undian. 

Namun, dalam masalah pemerintahan, sulit mengetahui siapa yang memiliki keterampilan terbaik. Selain itu, sangat sulit dipastikan bahwa seorang politisi akan menggunakan keterampilannya semata-mata untuk kepentingan umum ketimbang untuk kepentingannya sendiri, atau kepentingan kelas, partai, dan keyakinan
keagamaan tertentu.

Hal berikutnya, apakah definisi Plato tentang keadilan itu mensyaratkan suatu pengorganisasian oleh negara, baik secara tradisional ataupun --untuk mewujudkan dalam totalitasnya suatu kondisi ideal-- secara etis. 
Menurut Plato, keadilan akan terwujud ketika setiap orang melakukan pekerjaan masing-masing. Tetapi, apa pekerjaan masing-masing itu? Di negara seperti Mesir kuno atau kerajaan Inca, pekerjaan seseorang adalah pekerjaan ayahnya, dan begitulah seterusmya diturunkan dari generasi ke generasi, dan tak ada yang
mempertanyakan hal itu.

Masalahnya, di negara Plato, tak seorang pun memiliki ayah yang sah. Oleh karena itu, pekerjaannya harus ditentukan oleh seleranya sendiri atau diatur oleh Negara berdasarkan bakat dan kecerdasannya. Yang terakhir ini memang yang didambakan Plato.  Namun, beberapa jenis pekerjaan, walau sangat membutuhkan
keterampilan, mungkin dipandang jahat atau merusak. Seni puisi, misalnya, tidak dipandang mulia di mata Plato.

Tujuan Pemerintah oleh karenanya penting dalam menentukan pekerjaan seseorang.  Walau semua penguasa adalah filsuf, selamanya seorang filsuf tampaknya haruslah seseorang yang memahami dan sepakat dengan Plato.

4.6. Yang “Ideal” dan Utopia dalam Republik Plato

Pemikiran politik Plato yang dituangkan dalam Republic memancing banyak pemikir di berbagai generasi sesudahnya untuk menanggapi. Banyak yang memuji pemikiran Plato di sini, tapi tak sedikit pula yang mengeritiknya.

Dua  pemikir zaman Victoria, John Stuart Mill dan Benjamin Jowett, memberi apresiasi khusus pada Plato. Yang dikagumi Mill dari Plato bukan hanya tentang oposisi Plato terhadap hal-hal yang umum dan konvensional, namun juga ide tentang tata kelola pemerintahan yang ilmiah, yang terwujud dalam inti kaum profesional, dari kalangan warganegara yang terdidik secara liberal.

Jowett sebaliknya memandang, keterampilan yang dituntut Plato dari kalangan elite berkuasa sudah bersifat metafisika dunia lain. Plato beranggapan bahwa penguasa-penguasa terbaik adalah mereka yang kehidupan politiknya bertentangan dengan personalitas dan kepentingan mereka yang sebenarnya. Terdapat ketegangan
yang tak tertuntaskan dalam pemikiran Plato, antara daya tarik filsafat dan tuntutan keadilan.

Malcolm Schofield membela utopianisme, sebagaimana yang dijabarkan Plato, sebagai elemen yang didambakan dan tak terhindarkan dari refleksi politis yang sistematis. Schofield merumuskan utopia sebagai pemikiran tentang sebuah cetak biru bagi dunia yang didambakan, yang --meskipun ditempatkan dalam keprihatinan masa sekarang, dengan berbagai pertanyaannya tentang kepraktisan dan legitimasi (pemikiran utopia itu) tidak harus disisihkan, namun bisa dipandang sebagai (alternatif yang) sekunder.

Namun, apa yang akan dicapai oleh Republik Plato? Menurut Bertrand Russell, jawaban pertanyaan ini agak menjemukan. Republik ini akan mencapai sukses dalam perang melawan populasi yang kira-kira sama jumlahnya, dan negara ini akan mengamankan nafkah untuk sejumlah kecil orang. Namun, negara Plato ini juga jelas tidak akan menghasilkan karya seni atau sains, karena kekakuannya. 

Dalam hal ini, negara Plato akan mirip Sparta.  Meskipun banyak omongan tentang hal-hal lain yang muluk, yang akan dicapai akhirnya hanyalah keterampilan dalam perang dan punya cukup makanan untuk dimakan. Plato pernah mengalami masa kelaparan dan kekalahan di Athena, sehingga mungkin tanpa sadar ia berpikir, menghindari bencana semacam itu adalah prestasi terbaik yang bisa dicapai para negarawan.

Sebuah Utopia, jika secara serius diniatkan, jelas akan mewujudkan gagasan ideal si penciptanya. Dalam hal ini, Russell mencoba menjelaskan makna ideal. Pada awalnya, ideal adalah sesuatu yang diinginkan oleh mereka yang mempercayainya. Namun, ideal itu tidak didambakan dengan cara yang sama seperti orang menginginkan kenyamanan personal, seperti makanan dan rumah tempat bernaung. 

Yang membedakan sebuah ideal dengan sebuah obyek dambaan biasa adalah yang pertama bersifat impersonal. Ideal adalah sesuatu yang --kita anggap saja-- tidak memiliki rujukan khusus ke ego dari orang yang merasakan dambaan tersebut, dan karena itu secara teoritis dapat didambakan oleh setiap orang.  

Jadi, kita mungkin merumuskan sebuah ideal sebagai sesuatu yang didambakan dan tidak bersifat egosentris, sehingga orang yang mendambakannya patut berharap, orang lain juga akan mendambakan hal serupa. Dengan cara ini, orang bersangkutan bisa membangun sesuatu yang seolah-olah seperti etika yang impersonal. Walaupun, faktanya ―ideal‖ itu didirikan di atas landasan personal, berupa hasrat dan dambaan dari pribadi si orang bersangkutan.

Selain itu, mungkin saja terjadi konflik antara ideal-ideal yang murni bersifat impersonal. Pahlawannya Nietzsche berbeda dengan figur seorang suci Kristiani, walaupun secara impersonal keduanya sama-sama dikagumi, yang pertama oleh para pendukung pemikiran Nietzsche, dan yang kedua oleh para penganut Kristiani. Bagaimana kita bisa memilih satu di antara dua figur pahlawan ini, kecuali berdasarkan dambaan kita sendiri? 

Jika tak ada landasan pertimbangan lain, maka suatu ketidaksepakatan etis hanya dapat diputuskan lewat imbauan emosional atau kekuasaan. Tentang masalah fakta, kita bisa saja mengharapkan bantuan sains dan metode ilmiah observasi. Namun, tentang pertanyaan puncak etika, tampaknya tidak ada yang bisa dianalogikan. Maka, jika ini benar terjadi, peselisihan etis akan diselesaikan lewat pertarungan kekuasaan, termasuk lewat kekuatan propaganda. 

Cara pandang ini, dalam bentuknya yang kasar, diajukan dalam bagian pertama buku Republic oleh tokoh Thrasymachus, yang ---seperti tokoh-tokoh lain dalam dialog-dialog Plato adalah tokoh yang benar-benar ada. Ia adalah seorang Sophis dari Chalcedon, dan guru retorika terkenal. Thrasymachus menyatakan, Keadilan adalah tak lain dari kepentingan pihak yang lebih kuat.

Ucapan Thrasymachus ini mengangkat pertanyaan mendasar dalam etika dan politik: Apakah ada standar tentang ―baik‖ dan ―buruk,‖ kecuali berdasarkan apa yang didambakan oleh orang yang menggunakan kata-kata tersebut? Jika tidak ada standar semacam itu, banyak konsekuensi dari ucapan Thrasymachus tersebut tidak bisa kita hindari.

Pada titik ini, agama pada pada pandangan sekilas pertama memberi jawaban sederhana. Tuhan menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Orang yang kehendaknya selaras dengan kehendak Tuhan adalah orang yang baik. Namun jawaban ini tidak sangat ortodoks.

Para teolog mengatakan, Tuhan itu baik, dan ini berarti ada standar kebaikan yang independen dari kehendak Tuhan. Maka kita dipaksa untuk menghadapi pertanyaan: Apakah ada kebenaran atau kekeliruan obyektif di dalam pernyataan seperti kenikmatan itu baik, dalam arti yang sama seperti pernyataan ―salju itu putih? Untuk menjawabnya, diperlukan diskusi panjang.

Beberapa orang mungkin berpikir bahwa demi pertimbangan praktis, kita dapat menghindari pertanyaan fundamental itu, dengan mengatakan, kita tak tahu apa yang dimaksud dengan kebenaran obyektif. Namun, kita akan menganggap sesuatuitu benar, jika semua –atau tampaknya semua—yang menyelidikinya sepakat tentang hal tersebut.

Namun, selanjutnya kita kemudian menghadapi pertanyaan tentang fakta: Apakah ada pernyataan-pernyataan semacam itu yang disepakati dalam hal etika? Jika ada, maka pernyataan-pernyataan itu bisa dijadikan landasan bagi aturan perilaku perorangan, atau untuk teori politik.

Sebaliknya, jika tidak ada, maka kita dipaksa untuk masuk ke ranah praktik. Tanpa mempersoalkan lagi kebenaran filosofis, kita akan beradu dengan kekuatan atau propaganda atau kedua-duanya, manakala terdapat perbedaan etis yang tak bisa dipertemukan antara kelompok-kelompok yang berkuasa.

Bagi Plato, pertanyaan ini tidak benar-benar ada. Walau rasa dramatiknya menggiringnya dengan kuat ke posisi Thrasymachus, ia tak begitu sadar akan kekuatan posisi Thrasymachus dan membiarkan diri secara kurang adil menentang posisi itu. Plato yakin bahwa ada yang namanya ―Yang Baik‖, dan bahwa hakikat ―Yang Baik‖ itu dapat dipastikan. Jika ada orang yang tidak sepakat dengannya, salah satu dari mereka sedikitnya telah membuat kesalahan intelektual. Sama halnya dengan jika ketidaksepakatan itu bersifat ilmiah, tentang beberapa hal yang terkait soal fakta.

Perbedaan antara Plato dan Thrasymachus sangat penting. Namun, bagi sejarawan filsafat, ini hanya sekadar catatan. Plato berpikir, ia dapat membuktikan bahwa Republic idealnya itu baik. Sebaliknya, seorang demokrat yang menerima obyektivitas etika mungkin berpikir bahwa ia dapat membuktikan Republik itu buruk. 

Tetapi, bagi siapa saja yang setuju dengan Thrasymachus akan mengatakan: Masalahnya bukan soal membuktikan atau tidak membuktikan. Satu-satunya pertanyaan adalah, apakah anda menyukai Negara yang didambakan Plato. Jika jawabannya ya, itu artinya baik untuk Anda. Jika Anda tak menyukainya, berarti itu buruk untuk Anda. Jika banyak yang setuju dan banyak juga yang tidak setuju, keputusan tak bisa diambil berdasarkan nalar, tetapi hanya dengan kekuatan, baik secara terang-terangan atau terselubung.‖

V. Komentar Penutup

 Harus diakui, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk merentangkan dan mengungkapk an pemikiran filsafat Plato yang sangat luas, terutama pemikiran politiknya, dalam makalah yang pendek seperti ini. Maka, tulisan ini hanya mencoba menampilkan sejumlah kecil pemikiran intinya, yang semoga dapat dipahami.  Dari sejumlah komentar dan kritik dari para pemikir lain di generasi-generasi sesudahnya, terlihat bahwa sebenarnya masih banyak pemikiran Plato yang relevan, jika dikaitkan dengan konteks dan perkembangan dunia masa kini. 

Tentu saja, pemikiran Plato itu tidak bisa diterapkan mentah-mentah begitu saja dalam konteks situasi dunia sekarang, yang sudah sangat berbeda. Harus dicatat, pemikiran Plato ini diciptakan sekitar 2.500 tahun yang lalu, dalam lingkungan dunia yang ekstrem berbeda. Sehingga dalam membuat penilaian, kita juga harus bersikap adil pada Plato.

Berbagai perkembangan kontemporer sekarang –seperti krisis ekonomi dahsyat yang melanda dunia, dipertanyakannya kembali asumsi-asumsi dasar liberalisme dan kapitalisme, dampak kerusakan akibat kebebasan yang tanpa kontrol, peran pemerintah yang coba dihidupkan kembali sesudah dimatikan oleh ekonomi neoliberal telah membuka peluang-peluang baru, bagi aplikasi pemikiran Plato. 

Plato dalam karyanya Republic telah mengakui, utopia mungkin tak akan pernah tercapai. Sedangkan karyanya Laws menyediakan cetak biru bagi sebuah pendekatan (aproksimasi) terhadap kondisi ideal tersebut, yang masih dalam jangkauan orang biasa. Yakni, orang biasa yang ingin ikut berperan dalam kehidupan politik, memiliki tanah sendiri, dan hidup di rumah tangga biasa yang konvensional.

Artinya, Plato sendiri sejak awal telah menyadari keterbatasan-keterbatasan yang mungkin mucul dalam upaya mewujudkan dambaannya tentang tatanan masyarakat yang ideal. Maka, dari situ, pemikiran Plato tentang Utopia dan masyarakat yang ideal itu dapat kita tempatkan dalam perspektif baru, untuk memberi pandangan dunia yang berbeda, bagi kemungkinan munculnya alternatif tindakantindakan yang berbeda
pula.

Sumbangan semacam inilah barangkali yang bisa diberikan oleh pemikiran Plato. Bukan suatu sumbangann yang harus diterima begitu saja, tetapi sekadar sebagai benih dan humus yang harus kita pupuk dan kita tumbuh-kembangkan lebih lanjut, untuk mewujudkan tatanan masyarakat dan dunia yang lebih baik, yang kita cita-citakan.

Referensi:

1. Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
2. Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
3. Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New York: Oxford University Press.
4. Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme, Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
5. Magnis-Suseno, Franz. 2005. Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
6. Nurtjahjo, Hendra. 2006. Filsafat Demokrasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
7. Russell, Bertrand. 1948. History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day. London: George Allen and Unwin Ltd.
8. Brooks, Thom. ―Knowledge and Power in Plato's Political Thought, dalam International Journal of Philosophical Studies, Volume 14, No. 1, No. 1/Maret 2006, hlm. 51-77.
9. Schofield, Malcolm. 2006. Plato: Political Philosophy, Oxford: Oxford University Press. 
10. Bertens, K. Etika. 2004. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
11. http://www.iep.utm.edu/p/platopol.htm
12. http://plato.stanford.edu/entries/plato-ethics-politics/#4.1
13. http://www.ingentaconnect.com/content/routledg/riph/2006/00000014/00000001/art00003