Recent Posts

settia

Balkanisasi Indonesia Melalui Dua Sisi

Balkanisasi Indonesia? Mungkin topik ini menarik untuk diulas mengingat isu ‘Clinton Program 1998’-nya Amerika (AS) guna memporak-porandakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) meski sayup-sayup, namun terdengar. Betapa republik ini akan dipecah belah sebagaimana nasib negeri-negeri di Kawasan Balkan dulu. Nusantara akan berubah menjadi negara kecil-kecil, serta statusnya hendak disamakan dengan negara kepulauan (polenesia) di Samudera Pasifik semacam Vanuatu, Solomon Island, Selandia Baru, Hawaii, Fiji, Atol Midway, Samoa, Tuvalu, dll. Entah benar, atau cuma rumor belaka, namun pada dekade terakhir ini, isue tersebut telah menjadi bagian masalah yang mutlak harus dicermati di Bumi Pertiwi.


Tulisan sederhana lagi tak ilmiah ini, tidak lagi menyoal apakah Clinton Program itu ada, nyata atau tidak, “Tak akan ada asap tanpa api”. Mimpi itu ada walau tidak nyata, namun toh kerap berperan dalam kehidupan seseorang. Kentut pun hampir sama, meski tak terlihat tetapi ada dan nyata, terutama ‘berperan’ (menjadi masalah) bagi orang-orang yang menciumnya.

Berbasis analogi di muka, catatan ini coba menguak topik isue di atas melalui beberapa tanda atau indikator. Manakala tanda-tanda orang bermimpi itu bicara sendiri (nglindur), melakukan gerak sewaktu tidur, dsb atau tatkala indikasi orang kentut nampak dari mimik, gerak-gerik tubuh, dll maka dari perspektif inilah kita hendak membuka tabir dimaksud. Sederhana.  


Mari cermati perilaku geopolitik asing di NKRI yang indikasinya berujung pada skema “Balkanisasi Indonesia”. Awal diskusi akan dimulai dari kondisi politik global terlebih dulu, baru kemudian meliuk ke tanah air. Sepakat? Agar tak berkepanjangan, kita mulai semenjak berakhir Perang Dunia (PD) II dekade 1939-1945.

Usai PD II, geliat geopolitik Eropa dan Amerika (AS) terkesan stabil kecuali Inggris yang masih digaduhkan oleh separatis Irlandia Utara (IRA). Kelompok kolonial seperti Belanda, Prancis, AS, Portugis, Sanyol, Inggris, dan lain-lain cenderung diam meskipun secara (silent) sistematis tetap melakukan kendali di bekas negara-negara koloni khususnya kontrol terhadap ekonomi dan politik. Indikatornya tercermin dengan aneka ‘penyatuan negara’ dalam bentuk kerjasama baik ekonomi, politik, maupun pakta pertahanan seperti Five Power Defence Agreement (FPDA), ANZUS, Commonwealth, dan sebagainya.


Melambung sebentar ke depan. Barangkali kegaduhan paling aktual ialah gerakan Occupy Hongkong yang kini terjadi di wilayah ex koloni Inggris tersebut. Momen tersebut dapat diterka (diduga) merupakan implementasi British Geopolitic (BG), dimana pola  perilakunya mencaplok terlebih dulu simpul-simpul transportasi, sebelum akhirnya (menjajah) ke sektor-sektor lain. Ada apa sich di Hongkong (HK)? Dari aspek sumberdaya alam (SDA), HK tidak sedahsyat Xinjiang bahkan tergolong miskin SDA. Namun hebatnya, ia memiliki pelabuhan besar di tepi jalur (perairan) internasional yakni pelabuhan laut (seaport) serta bandara udara (airport) bertaraf internasional. Bahkan seaport HK merupakan 10 pelabuhan tersibuk di dunia, demikian juga airport-nya menjadi pusat transit penting di dunia karena letaknya yang strategis. Itulah sumberdaya HK yang justru menggiurkan bagi negara imperialis seperti Inggris, AS, dan lain-lain.

Kembali ke era pasca PD II (Perang Dingin). Jika jeli menyimak, banyak kasus kudeta (dan konflik) di negara-negara  bekas jajahan Barat sejatinya cuma ulangan peristiwa. History repeat itself.  Terutama konflik internal yang melanda kelompok negara yang berlimpah dan kaya akan SDA semacam Asia Tengah, Timur Tengah --- oleh Mackinder, keduanya disebut World Islands atau Heartland (jantung dunia)--- dan Afrika (terutama Afrika Utara), dll. Bagaimana dengan Indonesia? Nanti kita ulas.

Tak putusnya konflik-konflik dan/atau kudeta di negara bekas koloni Barat bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri tanpa dalang dan pemilik hajatan meremot dari kejauhan. Di setiap pagelaran niscaya ada wayang, dalang dan pemilik hajatan. Gerakan wayang tergantung dalang, geliat si dalang niscaya merujuk hasrat si penanggap atau pemilik hajatan. “Pak Dalang, saya ingin lakonnya wayang mbeling!”. Itulah pakem nusantara yang telah menjadi pakem (norma) dalam pagelaran politik global.

Sebagaimana diulas pada prolog tulisan ini, meski cenderung silent bahwa kelompok negara kolonial tetap melakukan kontrol terhadap negara-negara bekas jajahannya. Menjadi circumstance evidence (bukti keadaan) bahkan patern evidence (bukti pola) manakala pelaku kudeta ataupun tokoh-tokoh konflik justru para perwira militer, ataupun kaum intelektual lulusan Barat. Hal ini yang menarik dicermati. Pertanyaan hipotesa, “Inikah modus pemilik hajatan atau sang donatur menagih janji serta meminta bukti loyalitas atas “bantuan”-nya selama ini terhadap si wayang atau dalang; atau jangan-jangan malah mereka disuruh menerapkan disertasi (teori)-nya?”

Yang diincar oleh asing (pemilik hajatan) tak lain adalah SDA negeri dimaksud, meski isue yang diusung oleh komprador (wayang/dan dalang) melalui blow up media massa berkisar soal demokrasi, HAM, korupsi, pluralisme, intolerans, kepemimpinan tirani, freedom, dan lain-lain. The way thing are done around here. Itulah perilaku (geopolitik) kolonialisme.

Sedang kelompok negara komunis ---masih dalam pasca PD II--- seperti Yugoslavia, Jerman Timur, Chekoslovakia, Rumania, Polandia, dll cenderung mengutamakan konsolidasi ke dalam dengan ujud menjaga stabilitas internal, menguatkan sentralisasi, indoktrinasi ideologi, dll kecuali Cina dan Uni Soviet terlihat ekspansif, bahkan Cina kian agresif di panggung politik global hingga kini.

Namun dalam pola intervensif, Paman Sam terlihat licik karena kerapkali mengganggu stabilitas negara yang ditarget berdalih membendung komunisme, atau menyebar intoleransi, isue demokrasi, HAM, dan lainnya dengan menumpang pada sisi pluralitas (keberagaman suku dan agama) sebagai sumbu letus. Tetapi anehnya, justru agenda asing tersebut seperti tak disadari ---atau pura-pura tidak disadari--- oleh elit dan elemen bangsa-bangsa dimaksud. Entah kecanggihan penerapan skenario, atau karena cantiknya permainan para komprador di internal negeri, dan lainnya.

Sudah tentu, sebagai konsekuensi logis atas perilaku geopolitik tadi, mutlak mereka harus menjalin berbagai proxy (perpanjangan tangan) dalam rangka menerapkan visi dan misi, atau diciptakan “boneka” bagi kepentingannya di negeri target melalui sosok fenomenal, lembaga swadaya (LSM), capacity building, pembiayaan program kegiatan, gelontoran hibah, dll ---no free lunch--- kepada LSM, individu, organisasi massa bahkan tak ada makan siang gratis bagi pemerintahan di negara-negara target. Sekali lagi, no free lunch atas segala hibah, bantuan (dan utang) di suatu negara.

Diskusi terbatas (3/7/2013) di Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit mencatat satu pointers menarik, “Bahwa pola kolonialisme selalu menciptakan tandingan-tandingan”. Misalnya, bila ada organisasi fundamental niscaya akan dilahirkan kelompok lain sebagai counter-nya. Indonesia contohnya, ketika muncul Front Pembela Islam (FPI) yang cenderung radikal, maka dimunculkan Jaringan Islam Liberal (JIL) untuk tandingannya; atau bila eksistensi kaum tradisional menguat, nisaya akan dibentuk entitas modern sebagai tandingan. Sekali lagi, akan selalu muncul tandingan, tandingan dan tandingan dalam perilaku geopolitik kolonialisme.

Konsep, model serta modus semacam ini akan senantiasa bergulir secara sistematis dan masif di lorong-lorong manapun baik lorong ekonomi, politik, security, dan sosial budaya. Tujuan jelas, agar bangsa (atau negara target) senantiasa gaduh di tataran hilir, dibentur-benturkan dengan pola-pola tandingan di internal supaya skema kolonialisme tak terpantau (deception). Ia jalan terus serta semakin kuat tertancap dalam hal penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA di negara target. Conflict is the protection oil flow.

Sebagai tambahan ilustrasi, ketika muncul kelompok kritis menurut perspektif hegemoninya, entah kelompok "kiri", entah golongan “bersimbol agama”, dan terutama sekali kebangkitan jiwa nasionalis di sebuah bangsa ---- maka Paman Sam siap menyediakan logistik, konsepsi, think tank, kalau perlu membikin ‘pasukan tersendiri’ guna menghancurkan aktivitas tersebut baik secara hard power atau simetris (militer), ataupun secara asimetris (non militer/smart power) melalui cyber troops, gerakan massa, bully, dan lain-lain. Patut dicatat, Arab Spring merupakan contoh langkah asimetris Barat di Kawasan Heartland dan Afrika Utara ---Jalur Sutera--- yang relatif sukses oleh karena berhasil menjungkalkan rezim penguasa kala itu.

Meliuk lagi namun dalam koridor topik. Sebelum kegagalan AS dan sekutu di Afghanistan (2001-2013) dan Irak (2003-2012), invasi (keroyokan) militer memang dianggap metode favorit sebab dinilai efektif meskipun high cost dan membutuhkan restu (kongres) internal serta restu (resolusi) PBB. Dalam praktek, restu internasional pun kadang diabaikan berdalih kepentingan nasionalnya terancam. Doktrin preemtive strike diterbitkan hanya untuk tameng manakala ia menyerang negara lain secara ilegal. “Serang dulu sebelum diserang”.

Pola invasi di atas pernah memetik sukses di Afrika, Timur Tengah, Amerika Selatan, dan lain-lain (Baca: Tangan-Tangan Amerika di Pelbagai Belahan Dunia by Hendrajit dkk). Tapi agaknya, model invasi militer secara terbuka mulai ditinggalkan oleh AS dan sekutu kecuali mungkin bila keadaan memaksa. Mereka kini, lebih meyukai tata cara asimetris yang soft, senyap dan smart bila dibandingkan hingar-bingar peperangan simetris.

Tak boleh diabaikan dalam cermatan adalah, jika di sebuah negara terdapat benih pluralisme baik secara etnis, agama, atau mazhab dalam agama, kultur, aspek historis, dll maka perilaku geopolitik kolonialisme cenderung menunggangi kondisi tersebut dalam rangka destabilisasi negeri dimaksud. Tibet misalnya, atau Xinjiang di Cina, Turkistan Timur, Kashmir (India-Pakistan), Chechnya (Rusia), Baluchistan di Pakistan, Kurdistan (Irak-Iran) dan Sudan, merupakan contoh-contoh nyata.

Pertanyaannya kini: apakah konflik Syiah-Sunni di Madura, atau ‘bencana sosial’ antara Madura - Dayak di Kalimatan, konflik pribumi versus pendatang di Lampung, tergolong konflik-konflik yang ditungganginya? Entahlah. Mari telusuri berdasar asumsi GFI, Jakarta, “Bahwa mapping konflik dimanapun senantiasa pararel dengan jalur-jalur atau wilayah kaya emas, minyak, gas alam serta tambang lainnya”. Silahkan dicermati, apakah Sumatera, Kalimantan dan Madura ---di lokasi konflik--- itu cuma penghasil jagung, ketela rambat, tempe bongkrek; atau ia memiliki potensi bidang pertambangan? What lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan. Itulah analisa berbasis circumstance evidence dan patern evidence di lingkungan penggiat geopolitik dan global review.

Kembali ke balkanisasi negeri ini sebagaimana isue Clinton Program 98, bahwa rencana tersebut (kemungkinan) telah berjalan sejak peristiwa Sambas, Sampit, Ambon, Poso, dll. Ibarat memakan bubur panas dimulai dari pinggiran, republik ini seperti disisir via konflik komunal dari tepian. Inikah strategi "desa mengepung kota"-nya Mao Ze Dong? Sekali lagi, “Entahlah”.

Selanjutnya, tatkala membaca separatisme Aceh dan Papua lebih bercorak ke primordialistik, HAM, atau kue pembangunan yang tidak merata, lalu “Bagaimana dengan lepasnya Timor Timur dulu?” Tak boleh dipungkiri, bahwa fakta bergabungnya Timor  Leste ke dalam NKRI berpola integratif ala Tibet melalui restu Barat guna membendung komunisme. Maka sebagai konsekuensi logisnya adalah, ia akan mudah lepas ketika “restu” dicabut. Tak boleh tidak. Adapun isue HAM sebagai pintu pembuka, dan agenda jajak pendapat setelah hadirnya pasukan asing di Indonesia hanyalah pagelaran yang lazim dijalankan. Itulah balkanisasi dari pinggiran atau sisi luar.

Sementara balkanisasi dari internal (sisi dalam) tampaknya berjalan ‘senyap’ melalui sistem politik multipartai, otonomi daerah (otoda), pemilu langsung, dll. Hampir tidak terpantau bahkan relatif efektif. Lagi-lagi, selain tidak terendus secara vulgar karena selaras dengan gegap demokrasi, juga segenap elit dan mayoritas bangsa asyik bergaduh-ria di tataran hilir hingga hampir kehabisan energi. Ya, terlihat glamour namun tidak menyentuh kepentingan nasional RI. Pada gilirannya, balkanisasi dari sisi dalam justru lebih signifikan dalam proses pelumpuhan Ketahanan Nasional kita yang memang telah lemah sebab didangkalkan baik dari sisi konsepsi maupun implementasi (baca: Hingga Kapan Pengabaian dan Pendangkalan Geopolitik Terus Berlangsung di Indonesia? di www.theglobal-review.com

Bahwa contoh riil penerapan metode belah bambu (devide et impera) di negeri plural dapat dipetik via ilustrasi perang sipil di Balkan. Mereka pun terpecah belah menjadi beberapa negara kecil berdasar etnis dan agama. Bosnia-Herzegovina, Kroasia, Montenegro, Serbia, Albania, dan Kosovo adalah ‘anak-anak’ yang lahir dari rahim Yugoslavia, induknya. “Itulah fakta dan realitas balkanisasi” di muka bumi. Fenomena tersebut jika diibarat menyantap kue ulang tahun, maka menyendok kue setelah diiris-iris menjadi potongan kecil akan lebih mudah dan gampang melahab (SDA)-nya daripada ia masih utuh (menyatu).

Analog memakan kue ulang tahun di muka, identik penerapan otoda sejak era reformasi sebagai bentuk negara federal kemasan baru, atau modus multipartai dan pilihan langsung (one man one vote) yang tanpa sengaja telah meluaskan tebaran benih konflik berbasis agama, etnis, politik, ideologi kontemporer, kelompok ---secara berkala---  antara sesama anak bangsa sendiri. Inilah yang kini tengah berlangsung di Bumi Pertiwi.

Dari uraian tak ilmiah dan sederhana di atas, setidaknya dapat kita cermati bahwa upaya balkanisasi di negeri ini telah berjalan masif, sistematis, bahkan senyap karena justru tak disadari oleh mayoritas anak bangsa. Balkanisasi dari sisi luar melalui konflik komunal menyisir dari pinggiran, sedang balkanisasi dari sisi internal melalui sistem politik yang diterapkan dalam konstitusi negara.

Seandainya pola dan perilaku ini dibiarkan terus berlangsung tanpa (ada transformasi) negara hadir secara langsung untuk melindungi segenap tumpah darahnya dan secepatnya take over, tidak lama lagi ---- sekali lagi, tidak perlu menunggu waktu lama niscaya akan ada gelombang balkanisasi di Indonesia. Jangan-jangan, Bumi Pertiwi ini kelak hanya tinggal dongeng bagi anak-anak cucu bahwa konon Indonesia pernah ada, nyata dan berada.


Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Terimakasih
Sumber :  http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16562&type=4#.VK92_i73US5